Thursday, August 20, 2015

Antu Aru-Aru, Sangat Iseng & Suka Bikin Orang Kesasar Tak Terduga


Pusako News, - Kenal dengan Antu Aru-Aru, yang suka bikin orang tersesat, anak sampai orang dewasa. Yang paling iseng dari perilaku antu aru-aru adalah, korban dari antu tersebut sering ditemukan di tempat yang tak terduga.

Contohnya yang sering terjadi adalah korban ditemukan diatas pohon Aru atau Waru yang dipenuhi dengan duri-duri yang sangat tajam. tentu ini sangat aneh, bagaimana bisa sang korban berada di atas pohon.

Yang paling sulit adalah sewaktu mencoba menyelamatkan korban, pasti sangat sulit. Bagaimana tidak, resikonya adalah tertusuk duri. oleh sebab itu orang yang dibawa lari antu aru-aru, sering ditemukan di tempat yang aneh dan berisko, serta tak masuk akal.

Banyak cara untuk mengantisipasi supaya tidak terkena isengan antu aru-aru, biasanya antu-aru-aru mengerjai orang-orang yang masuk hutan. oleh sebab itu cara menghindari antu aru-aru adalah dengan menggunakan pakaian secara terbalik ketika memasuki hutan.

Dan begitupun penyelamat yang ingin mencari dan menemukan antu aru-aru, juga harus menggunakan pakaian terbalik.(Mr.Goavan)

Panangga, Hobinya Loncat & Minta Rendang, Dengan Kondisi Badan Terpotong


Pusako News, - Kalau digambarkan maka Panangga sama dengan palasik, bedanya pada hakikatnya. Panangga tidak akan menggangu secara langsung, melainkan bisa dibilang iseng-iseng berhadiah. Karena hobi Panangga adalah meminta-minta rendang, dia akan menjaga rendang tersebut, dengan upah diberi sedikit rendang, sebab kalau tidak dicucuik, maka penangga akan menghilangkan minyak pada rendang tersebut hingga pucat, dan tak dapat dimakan lagi.

Biasanya jika suatu keluarga di Minangkabau ada acara dan sedang memasak rendang, pasti ada yang berada di dekat tungku memasak semalaman menjaga rendang tersebut. Kalau tidak, bisa “dicucuik” panangga. Esok hari rendangnya kelihatan pucat tidak berminyak lagi. Karena itu rendang yg kelihatan kurang berminyak sering plesetkan sebagai telah “dicucuik” oleh si panangga.
Penangga biasaya beraksi dengan setengah badan atau terpotong secara diagonal, sedangkan sisa badannya ditinggal dirumah. Potongan yang lain berkeliaran dikampung dan sekitarnya dengan meloncat-loncat.

Pernah ada cerita seorang tetua yang berpambayan (istri mereka bersaudara) dengan salah satu panangga ini. Pada malam saat si panangga ini sedang ber-“tangga”.  Potongan badannya yang tinggal, ditusuki dengan “saga” enau. Akibatnya menjelang subuh waktu tubuhnya mau menyatu lagi, tidak bisa dengan sempurna.

Seharian dia tidak bisa keluar kamar. Demam dan selalu berselimut. Besok malamnya waktu badannya lepas lagi baru saga dicabut.Kemudian hampir subuh badannya bisa menyatu lagi dengan  sempurna.

Dengan kondisi begitu, dia akan semakin segan pada sang pambayan. Di suatu kampung, karena dianggap semacam aib. Biasanya yg palasik atau panangga ini, sulit mendapat jodoh orang kampungnya sendiri.

Sehingga mereka banyak berjodoh dengan orang luar. Yang agak mengherankan , rata-rata mereka secara ekonomi berada di atas dari kebanyakan orang kampung.

Selama tahun 1980an, keluarga yg dianggap bermasalah ini memang sulit berjodoh dikampung. Setiap pinangan mereka selalu ditolak dengan halus. Sehingga kebanyakan mereka berjodoh dengan orang luar. Sekarang karena itu sudah dianggap tidak ada lagi dan karena silau dengan kekayaannya. Sudah banyak mereka yang dapat jodoh di kampung.(Mr.Goavan)

Wednesday, August 19, 2015

Palasik, Hantu Pembunuh Bayi


Pusako News, - Siapa yang tak kenal dengan Palasik. Minang Kabau, khususnya yang menetap di Sumatera Barat, selain mengenal rendang dan cara memasak rendang yang nikmat. Selain itu ada sebuah legenda masyarakat yang cukup terkenal seperti rendang yakni Palasik. menurut masyarakat, banyak jenis-makhluk halus yang sering menggangu, salah satunya adalah Palasik.
Kita pasti langsung tahu palasik sebenarnya adalah makhluk gaib. kononya menurut kepercayaan Melayu dan Minangkabau. padahal sebenarnya palasik ini bukanlah hantu, melainkan orang yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi. Pengamal imu hitam ini sangat sering menggangu dan mengincar bayi-bayi, karena bagi palasik darah bayi merupakan makanan mereka, serta amalan mereka dalam menuntut ilmu hitam.
Banyak bayi-bayi ataupun balita yang sering sakit, hal pertama yang terlintas di benak orang Minang adalah gangguan palasik. Tapi itu dulu, sekarang masyarakat Minang sudah berbeda, hal-hal seperti itu sekarang ini dianggap sebagai penyakit atau kekurangan gizi seperti makanan yang kurang sehat, ataupun penyakit lainya.
Meskipun begitu masyarakat minang tetap mengantisipasi adanya palasik yang menyerang bayi-bayi mereka, dengan cara mengonyokan atau memperlihatkan sesuatu dengan tangan, menyodorkan, kepada orang yang diduga palasik dan penganut ilmu hitam. karena menurut masyarakat setempat, hal itu akan membuat palasik tak dapat beraksi, atau cara lainya adalah jangan sampai si bayi bertemu atau terlihat oleh orang yang diduga palasik.(Mr.Goavan)

“Orang Pendek” Sumatera: Manusia atau Kera? Banyak saksi melihatnya di hutan Sumatera. DNA mirip manusia?


Pusako News, --Hampir setiap hari para polisi hutan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, berjalan kaki menyusuri hutan perawan di wilayah seluas 125 ribu hektar. Itu tugas rutin, berpatroli mengawasi tiga area besar taman konservasi, Way Kanan, Way Bungur, dan Kuala Penet.  Setiap area itu dibagi lagi menjadi empat resor. 

Mereka menjaga taman nasional dari pembalakan liar, atau perburuan liar. Hutan di Way Kambas adalah tempat konservasi badak, harimau sumatera, dan juga gajah. Di sana bahkan ada sekolah gajah pertama di Indonesia.

Sekali patroli, para polisi hutan itu bisa berjalan kaki selama dua pekan, atau bahkan sebulan. “Mereka membawa makanan, dan juga tenda”, ujar juru bicara Taman Nasional Way Kambas, Sukatmoko kepada VIVAnews.   

Tapi satu regu patroli di resor Rawa Bunder, Way Kanan, menemukan hal mengejutkan pada Ahad, 17 Maret 2013 lalu. Di petang hari itu, di saat tubuh mulai lelah, tujuh polisi hutan terperangah: ada sekelompok makhluk mirip manusia namun ukurannya lebih kecil melintas di rawa.

Mereka sontak terkesiap. Para polisi hutan dan kelompok “orang pendek” itu berhadap-hadapan dengan jarak sekitar 30 meter.  Kaget, dan tak menyangka bersua makhluk aneh, para polisi hutan itu terpacak diam. Hening. Sekejap kemudian, gerombolan “orang pendek” itu berlari masuk ke dalam rimbun hutan. Hilang.

Barulah para polisi hutan sadar, seharusnya mereka mengabadikan gambar “orang-orang pendek” itu. Mereka hanya bisa mengingat “orang-orang pendek” itu bertelanjang, sebagian memegang kayu berbentuk tombak, dan bahkan ada yang menggendong bayi. Diduga saat itu, mereka sedang mencari ikan atau mencari air minum.

Penasaran dengan apa yang mereka lihat, tiga hari kemudian, grup itu kembali berpatroli di tempat sama. Tim sengaja memilih waktu persis saat mereka bertemu makhluk aneh, menjelang malam. Dan betul, “orang-orang pendek” yang dihitung lebih dari sepuluh orang itu terlihat lagi. “Suasana dan lokasinya sama saat petugas patroli melihat yang pertama dan yang kedua,” kata Sukatmoko. Namun, lagi-lagi, polisi kalah cepat memotret mereka.

Dari penampakan kedua ini, tim memastikan, penampilan “orang-orang pendek” itu seperti manusia purba. “Mereka tidak memakai baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih dewasa atau anak-anak, namun petugas kami melihat ada di antaranya seperti yang perempuan sedang menggendong bayi,” Sukatmoko menambahkan.

Hari itu juga, polisi hutan Taman Nasional memasang 15 kamera pengintai bersensor inframerah di sekitar lokasi itu. Kamera ini biasa digunakan untuk menangkap gambar aktifitas satwa liar, dan bisa menangkap objek bergerak yang melewatinya baik siang maupun malam.

“Nanti kalau sudah ada bukti secara visual kami baru bisa bicara. Karena selama ini kami hanya mengandalkan bukti penglihatan mata petugas, maka kami saja belum berani melaporkannya ke kementerian kehutanan secara resmi,” kata Sukatmoko.

Ini sebetulnya bukan kali pertama “orang-orang pendek” itu terlihat. Pada 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua dengan makhluk serupa yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas.  Denni, seorang anggota pendaki itu, menghubungi VIVAnewssetelah berita temuan “orang-orang pendek” itu dimuat di media. “Saya pernah melihat ‘orang pendek’”, ujarnya.

Dia berkisah, pada suatu pagi,  dia mendaki gunung setinggi 2.887 meter itu. Sekitar pinggang gunung, di sebuah kawasan yang agak datar, tiba-tiba Denni dan temannya kaget campur takjub melihat sepasang makhluk seperti monyet tapi berjalan dengan dua kaki. Tangannya mengayun khas seperti manusia. “Bulunya berwarna emas, berjalan tegak, berpegangan tangan,” kata Denni. Denni dan temannya berhenti berjalan, lalu mengamati.

Tinggi makhluk tak berekor itu sepinggangnya atau kira-kira 1 meter. Sepasang makhluk itu berjalan kira-kira 30 meter di dekat mereka berdua. Semua badannya berbulu, kecuali mukanya. Bulu di kepalanya sedikit lebih panjang. “Mukanya agak rata,” kata Denni.

Meski perawakan seperti manusia, namun bulu tipis di sekujur badannya membuatnya tampak lebih seperti monyet daripada manusia, kata Denni.

Karena tak pernah melihat makhluk macam itu sebelumnya, Denni yang menenteng kamera saku pun bergerak cepat hendak memotret. Namun seperti tahu mau dipotret, kedua makhluk itu bergerak lebih cepat, menghilang di balik rimbun pepohonan. Dia gagal mengambil gambar dari temuan langka itu.

“Orang Pendek” Kerinci

Tapi Deborah Martyr, perempuan peneliti asal Inggris yang beberapa kali menyaksikan ”orang pendek” di Taman Nasional Kerinci Seblat, meragukan makhluk yang dilihat polisi hutan di Way Kambas adalah “orang pendek” yang sama.

Debbie, begitu panggilan perempuan itu, menyatakan “orang-orang pendek” yang dilihatnya di sejumlah hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol lebih dari tiga orang.

“Saat melihat ‘orang pendek’, dia hanya sendiri. Tidak pernah saya melihat mereka berkelompok hingga belasan,” kata Pemimpin Tim Fauna & Flora International's Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera itu.

Perkenalan Debbie dengan “orang pendek” dimulai dari tahun 1989, ketika dia saat itu bekerja sebagai jurnalis sebuah media di Inggris, dan berlibur ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang membentang di empat provinsi yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Saat itu, Debbie mendengar kisah Orang Pendek. Dia pun penasaran. Namun baru tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari Fauna dan Flora International-IP dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Project Orang Pendek.

“Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya mitos. Namun setelah melihat, saya yakin itu bukan mitos,” katanya saat diwawancara jurnalis VIVAnews, Eri Naldi dan Arjuna Nusantara, di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27 Maret 2013.

Debbie pertama kali melihat “orang pendek” tahun 1994 di kawasan Gunung Tujuh dan kemudian di Gunung Kerinci, masih di Taman Nasional Kerinci Seblat. Tahun 1995, saat memasuki bagian Sumatera Barat dari taman nasional itu, di Solok Selatan, kembali Debbie melihat makhluk soliter ini. Tahun itu juga dia kembali menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara. Terakhir, pada 1996, Debbie melihatnya lagi di sebuah hutan produksi di Mukomuko, Bengkulu, dan di Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Namun tak satu pun yang berhasil dipotretnya. Padahal mereka sudah memakai kamera pengintai paling canggih yang biasa memotret harimau sumatera. Alhasil, tim penelitian ini lebih banyak mengandalkan penelitian berdasarkan pandangan mata saksi, termasuk mereka sendiri.

 “Badannya agak besar, tinggi sekitar 130 cm. Warna kulitnya madu tua, bulu di kepala sedikit tebal. Perawakan wajahnya hampir sama dengan orangutan tapi tidak mirip dengan manusia,” kata Debbie menceritakan ciri-cirinya, mirip seperti yang dilihat Denni di Gunung Singgalang.

Yanuar yang meraih gelar master dari Universitas Cambridge, Inggris, atas penelitian primata di Kerinci ini juga mengalami hal yang sama, hanya bisa melihat namun tak bisa mengabadikan gambar “orang pendek” ini. Bahkan Yanuar lebih dulu melihat “orang pendek” ini daripada Debbie. Kali pertama, seperti diungkapkannya dalam sebuah laporan terkait Project Orang Pendek, adalah di Provinsi Lampung di tahun 1993.

 “Jelas sekali berjalan dengan dua kaki, memperlihatkan ayunan tangannya,” kata Yanuar. “Warna (bulu)nya coklat agak keemasan.”

Meski tak mendapatkan gambar meyakinkan, Project Orang Pendek ini berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, memperlihatkan lekuk seperti telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar dan mencelat.

“Jempol menonjol keluar dan beban sepertinya dibagi rata untuk menghasilkan kombinasi kera besar dan manusia. Saya mencatat beberapa persamaan, berdasarkan bentuk kaki,” Yanuar menulis di laporan riset.

Satu kali, dalam riset lapangan, tim sempat mendapatkan feses segar “orang pendek”. Baunya seperti feses manusia. Analisis atas feses ini, disimpulkan orang pendek itu adalah omnivora meski lebih banyak memakan sayur, buah-buahan dan akar-akaran. Orang pendek juga memangsa serangga seperti ulat pohon dan larva. “Tapi sepertinya dia tidak makan cabai,” kata Debbie lalu tertawa.

Kemudian tim juga mengumpulkan hasil wawancara dengan penduduk yang pernah bertemu makhluk itu. Narasumber ini macam-macam pekerjaannya, 57 persen petani, 18 persen pemburu atau pengumpul gaharu, 14 persen pegawai pemerintah, 4 persen ahli kehutanan dan lainnya sekitar 8 persen.

Ada variasi penampakan “orang pendek” di mata narasumber riset. Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang melayang dari pohon ke pohon seperti dilakukan kera, beruk atau orangutan.

Sementara warna bulu di badannya, umumnya berwarna coklat meski ada sedikit yang melihatnya kemerahan atau keemasan. Bulu di kepala lebih panjang dan tebal, sementara di bagian dada dan perut lebih tipis sehingga memperlihatkan warna kulit mereka.

Umumnya mereka ditemui sedang berjalan, kemudian makan, dan sedikit yang bertemu sedang berbaring. Sementara tinggi badan, ada yang melihat di bawah 1 meter, namun ada yang sampai 130 sentimeter.

Narasumber ini tersebar di sepanjang Bukit Barisan dari utara Sumatera Barat sampai ke selatan Bengkulu, baik dari dataran rendah sampai pegunungan di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Penamaannya pun beragam.

Di Sumatera Barat, “orang pendek” itu juga dikenal sebagai Si Bigau. Di Jambi sendiri, selain disebut Uhang Pandak (dialek lain dari ‘Orang Pendek’), juga disebut Antu Pandak dan Si Gugu.

William Marsden, yang menghabiskan masa mudanya di Sumatera antara tahun 1754 sampai 1836, sudah menyinggung soal Si Gugu ini dalam bukunya berjudul “History of Sumatra”. Dalam buku edisi tahun 1811, Marsden yang juga dari Inggris menceritakan bahwa di antara Palembang dan Jambi, ada dua suku yang hidup di hutan yakni suku Kubu dan Gugu. Gugu, dijelaskan Marsden, kecil dan berbulu di sekujur tubuhnya.

Seorang warga Sungai Penuh, Kerinci, Iskandar Zakaria, adalah salah satu warga yang percaya dengan keberadaan Orang Pendek. Di tahun 1990-an akhir, Iskandar yang kini berusia 71 tahun melihat betul Orang Pendek. Saat itu, Iskandar memang sengaja menjelajah hutan di kaki Kerinci dengan niat mencari makhluk legenda itu.

Di hari ketiga pencariannya, menjelang Subuh, Iskandar yang saat itu mau buang air besar di pinggir sungai di sebuah perkebunan melihat yang dicari-carinya. Orang Pendek terlihat turun dari bukit menuju sungai. "Saya terkejut dan hanya bisa diam saja. Karena, Uhang Pandak itu berjalan tepat di hadapan saya. Pada saat itu jaraknya hanya sekitar dua atau tiga meter saja dari saya," katanya.
  
"Pada saat melintas di depan saya, Uhang Pandak ini melirik saya. Kejadian itu cepat sekali. Karena, setelah melintas di hadapan saya, Uhang Pandak hilang ke dalam hutan lagi," katanya.
  
Dari pengamatan itulah, Iskandar menyatakan, wajah Orang Pendek sama sekali tidak menyerupai manusia. Sekujur tubuh mahluk dengan ketinggian sekitar 80 sentimeter ini ditutupi bulu seperti orangutan. Dan satu hal lagi, dia berjalan dengan telapak kaki ke depan, bukan terbalik seperti selama ini menjadi mitos di masyarakat

"Tempat tinggal Uhang Pandak ini semak rimbun. Makanannya kulit kayu yang ada di hutan. Karena, dari yang saya temui di sekitar tempat tinggal Uhang Pandak ini banyak bekas kupasan kulit kayu," katanya.

Kera atau Orang?

“Mereka tergolong primata, bukan manusia,” kata Debbie yakin, saat ditanya soal klasifikasi “Orang Pendek” ini. Orang Pendek, kata Debbie, adalah primata yang belum tercatat dalam ilmu pengetahuan.

“Asumsi saya dia lebih dekat ke Siamang. Mereka tidak berkelompok tapi tumbuh dalam keluarga kecil—satu ibu dan anak-anak tanpa pejantan.” Karena asumsi inilah Debbie meragukan gerombolan yang di Way Kambas adalah “Orang Pendek” yang sama dengan yang ditelitinya bertahun-tahun.

David Chivers, ahli primata dari Universitas Cambridge, telah menganalisis jejak telapak kaki yang dikumpulkan Debbie dan kawan-kawan. “Sangat tak biasa, karena mereka merupakan campuran karakter dari semua jenis kera dan manusia,” kata Chivers seperti dilansir majalahEdge Science edisi #7, April-Juni 2011. “Mereka punya jari yang lebih pendek, hampir seperti manusia.” Antropolog biologis dari Universitas Idaho, Jeff Meldrum, juga melihat jejak kaki itu menandakan bipedalisme atau berjalan dengan dua kaki.

Sementara analisis atas DNA rambut, ahli hewan Hans Bruner dari Universitas Deakin, Australia, menyatakan rambut itu milik primata tak dikenal. Tahun 2010, jebolan genetika Universitas Oxford Tom Gilbert melakukan tes DNA sendiri atas rambut tersebut. Peneliti di Centre for GeoGenetics, bagian dari Natural History Museum of Denmark, itu menyatakan DNA makhluk itu adalah manusia, atau setidaknya berhubungan dekat dengan manusia. Jika pendapat ini diterima, “orang pendek” bisa berdiri sejajar dengan Homo neanderthal, Homo floresiensis dan Homo sapiens alias masuk jajaran “manusia”.

Lembaga riset genetika di Indonesia, Eijkman Institute for Molecular Biology sendiri skeptis dengan status manusia atas “orang pendek” ini. Deputi Direktur Lembaga Eijkman  Prof Herawati Sudoyo menyatakan, pertanyaan soal genetika “orang pendek” belum bisa dijawab karena tak ada gambar yang jadi bukti keberadaan mereka. Jika keberadaannya sudah pasti, barulah kemudian bisa lanjut kepada pengambilan sampel DNA, kata Herawati.

Soal gambar dan habitat “orang pendek” inilah yang menjadi pekerjaan bertahun-tahun sejumlah pemerhati flora dan fauna. Fauna Flora International (FFI) yang melakukan monitoring harimau sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat belum pernah mendapat gambar “orang pendek” dari seratusan kamera trap yang terpasang di enam lokasi sejak tahun 2004.

“Jika memang ada, mungkin sudah tertangkap kamera pengintai kami,” ujar Yoan Dinata, Manager FFI areal Sumatera Barat pada VIVAnews.

 “’Orang pendek’ itu sepertinya punya kemampuan mendeteksi benda listrik,” kata Suwandi Ahmad, yang pernah membantu dokumentasi tim Debbie saat mengumpulkan data “orang pendek”. “Indra pendengaran dan penciuman mereka sepertinya tajam sekali,” kata Suwandi.

Dia lalu menceritakan sebuah kisah unik seorang fotografer alam bebas yang sudah delapan bulan mengikuti Debbie, berusaha memotret “orang pendek”. “Setelah delapan bulan, pada suatu saat, baterai kameranya habis, dia lalu mengganti baterenya,” kata Suwandi. “Saat itulah, beberapa “orang pendek” datang mengerubungi fotografer itu. Dia gemetaran saat mengisi baterai, namun ketika sudah terisi, ‘orang pendek’nya pergi lagi. Seminggu lamanya setelah itu si fotografer ngambek,” kata Wandi tertawa.

Dosen Biologi Universitas Andalas, Dr. Wilson Novarino, salah satu ilmuwan yang yakin akan keberadaan “orang pendek”, menyebut insting makhluk menghindari dari manusia itu mungkin bagian dari kunci survivalnya. “Karena kondisinya yang sangat sensitif dan tidak mau bertemu manusia, bisa jadi populasinya semakin mengerucut,” kata Wilson.

Orang Pendek, kata Wilson, sangat besar kemungkinan salah satu dari banyak hewan yang masih misterius. Hingga kini baru 1,9 juta spesies telah teridentifikasi. Dalam studi yang dipublikasikan Selasa, 23 Agustus 2011 di jurnal PLoS Biology, ilmuwan menghitung ada nyaris 8,8 juta spesies di Bumi. Dari jumlah itu, 6,5 juta berada di daratan dan 2,2 juta di lautan.  Kerajaan hewan mendominasi dengan 7,8 juta spesies, fungi (jamur) sekitar 611.000 dan tanaman sekitar 300.000 spesies.

Jika benar ada 8,8 juta spesies, "Itu angka yang brutal," kata Direktur Eksekutif Ensiklopedi Kehidupan, Erick Mata. "Kita bisa menghabiskan waktu 400 sampai 500 tahun untuk mendokumentasikan spesies yang benar-benar hidup di planet kita," katanya. Bisa jadi, “orang pendek” adalah salah satu makhluk yang masih luput terdata itu. (np)(Sumber : VIVAnews.com)

"Legenda Minang Terkait Bukit Barisan" Kisah-kisah ini diceritakan turun-temurun secara lisan

Pusako News, - Bukit Barisan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Minangkabau di Sumatera Barat. Mereka hidup di sela-sela pegunungan itu, besar bersama legenda dan mitos mengenainya.

Ada sejumlah legenda yang berkaitan dengan Bukit Barisan ini. Kisah-kisah ini diceritakan turun-temurun secara lisan, ada juga yang dituliskan dalam tambo yaitu semacam babad di tanah Jawa. Apa saja legenda-legenda itu?

1. Legenda Asal-usul Minangkabau
Tambo Alam Minangkabau menceritakan negeri pertama di Minangkabau adalah Nagari Pariangan yang terletak di kaki Gunung Merapi, salah satu gunung api di Pegunungan Bukit Barisan. Ada banyak versi soal nenek moyang pertama ini.

Salah satu versi tambo adalah, bahwa Nagari ini dibangun oleh Maharaja Diraja, putra dari Iskandar Zulkarnain atau Alexander the Great. Ketika bumi dilanda banjir besar, Maharaja Diraja ini berlayar sampai mendarat di Puncak Gunung Merapi. Saat banjir surut, Maharaja dan pengikutnya kemudian turun mencari daerah bermukim yang kini disebut Nagari Pariangan.

Dari Pariangan inilah, kebudayaan Minangkabau menyebar ke tiga penjuru. Ke sisi barat Gunung Merapi, ada Luhak Agam; ke sisi utara, Luhak 50 Koto dan sisi selatan, Luhak Tanah Datar. 

William Marsden menulis dalam "The History of Sumatra" bahwa Sultan Minangkabau mengekalkan tambo itu dengan menyebutkan di surat resminya sebagai "Sultan Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung, yang merupakan maharaja diraja, keturunan Raja Iskandar Zulkarnain."

Nagari Pariangan kini berstatus cagar budaya. Sebuah lembaga internasional bernama Budget Travel bahkan memasukkan nagari ini sebagai salah satu dari lima desa terindah di dunia. Selain kaya dengan cerita sejarah, Pariangan juga menyajikan kekayaan arsitektur rumah gadang dan keindahan alam.

2. Legenda Orang Pendek
Kisah penampakan Orang Pendek merupakan cerita khas dari Pegunungan Bukit Barisan, mulai dari ujung selatan di Lampung sampai ke ujung utara di Aceh. Ada sejumlah versi cerita mengenai penampakan Orang Pendek ini, namun secara umum menyebutkan mereka berperawakan seperti manusia, namun lebih pendek dan badan berbulu.

Di Aceh, Orang Pendek ini disebut sebagai Suku Mante. Di Melayu (Riau), mereka disebut Orang Lecoh. Di sekitar Gunung Kerinci, mereka disebut Orang Pendek dan Uhang Pandak. 

Sejumlah peneliti bahkan memastikan Orang Pendek bukan sekadar legenda. Debbie Martyr, seorang peneliti Inggris, beberapa kali bertemu dengan Orang Pendek ini, memastikan mereka adalah primata yang belum terklasifikasi.

3. Legenda Orang Bunian
Kisah Orang Pendek di atas kerap bercampur baur dengan kisah Orang Bunian. Namun kisah Bunian ini lebih cenderung mitos karena berisi cerita-cerita tentang pemukiman masyarakat di Bukit Barisan. Mitos ini berkisah tentang makhluk yang seperti manusia, juga memiliki pemukiman, teknologi dan lain-lain ketika orang tersasar di tengah hutan di Bukit Barisan.

4. Legenda Bukit Tambun Tulang
Bukit Tambun Tulang ini juga kisah legenda yang bertempat di sekitar jalan yang menghubungkan Kayu Tanam dengan Padang Panjang melintasi Bukit Barisan. Konon dulu kala, terdapat sebuah bukit yang penuh dengan tulang belulang manusia. Kisah ini menceritakan sulitnya orang dari pesisir untuk menuju pusat negeri Minangkabau, karena harus mendaki bukit, kemudian dirampok dan dibunuh di sebuah bukit yang dinamakan "Tambun Tulang". Namun sampai hari ini, belum ada penelitian arkeologi atau sejarah atas mitos ini.

Legenda Bukit Tambun Tulang ini kemudian banyak menjadi inspirasi kisah-kisah fiksi. Penulis Makmur Hendrik misalnya, menjadikan Bukit Tambun Tulang ini sebagai latar belakang novel "Giring-giring Perak". Kemudian Bastion Tito, pernah menulis salah satu seri novel Wiro Sableng berjudul "Banjir Darah di Tambun Tulang". (umi)(sumber:VIVAnews.com)

Tuesday, August 18, 2015

Kisah Orang Bunian


Pernahkah kalian mendengar kisah Orang Bunian? Ini adalah kisah kakek saya ketika saya masih kecil. Pada tahun 1970-an, kakek saya bekerja sebagai eksekutif di sebuah perkebunan kelapa sawit besar di pulau Sumatera. Perkebunan ini posisinya di sebelah selatan dari Danau Toba dengan area berbukit-bukit

Semua rumah eksekutif dibangun berjajar di atas salah satu bukit rendah. Kebetulan rumah kakek ada di urutan kedua dalam jajaran itu. Di depan rumahnya, terdapat beberapa baris pohon kelapa sawit. Lalu di depannya lagi, adalah turunan menuju lembah. Tanah itu terlalu curam untuk ditanam pohon. Oleh karena itu, di depan situ dipenuhi dengan tanaman liar dan pepohonan membentuk sebuah hutan kecil. Lembahnya sendiri penuh dengan berbagai pohon besar, serangga tropis dan tumbuhannya lainnya.

Dia masih baru di situ. Sehingga setelah selesai bekerja kembali ke rumah. Selain TV satelit tidak ada hiburan apa-apa lagi di sana. Setiap hari kerja dia akan bangun jam 5 dan mulai bekerja.

Selama pengalaman bekerjanya itulah dia mendapat pengalaman unik. Semenjak minggu pertama dia datang sini, dia baru sadar bahwa setiap hari Rabu sore selalu ada bunyi genderang ditabuh di depan rumahnya (yakni daerah hutan situ). Suara tabuhan drum ini selalu mulai tepat jam 6.30. Suara ini akan berlangsung antara setengah hingga satu jam. Suaranya selalu berhenti mendadak, sama seperti ketika mulai. Dia berpikir mungkin di sana ada suatu upacara, atau perayaan.

Ketika dia bertanya pembantu di rumahnya, apa sebetulnya itu, dia hanya menaikkan bahu dan tidak menjawab. Dia berpikir mungkin tidak sopan untuk bertanya hal-hal seperti itu, jadi tidak pernah bertanya lagi.

Ketika dia sudah cukup lama tinggal di perkebunan, dan sudah semakin akrab dengan orang-orang di sana, rasa penasaran akan suara genderang itu semakin meningkat. Setahu dia, lembah di depan rumahnya itu tidak ada bangunan atau rumah. Namun setiap hari Rabu, suara genderang selalu terdengar dari sana, cukup dekat, sepertinya datang dari lembah itu sendiri!

Akhirynya dia mencoba bertanya asisten dia. Mereka hanya tersenyum menjawab, “Itu orang Bunian pak.” Dia tidak ingin kelihatan bodoh sehingga menjawab “Oh” dan menggangguk saja. Kebetulan ada satu asisten yang sangat dekat dengan kakek. Namanya Jamal. Kakek bertanya ke dia, apa itu orang Bunian. Jamal menjawab bahwa orang Bunian ini termasuk makhluk mistis yang tidak bisa kelihatan oleh manusia. Mereka umumnya senang tinggal di dekat manusia dan kadang berhubungan dengan mereka. Bahkan ada cerita beberapa pria yang menikahi perempuan Bunian dan bergabung dengan masyarakat Bunian. Tetapi manusia yang bergabung, akan ikut tidak terlihat lagi.

Terkadang manusia bisa meminta bantuan dengan Bunian. Misalnya seseorang sedang mengadakan perjamuan dan kekurangan piring dan sebagainya, mereka bisa meminjam dari Orang Bunian. Namun piring itu harus dijaga dengan baik, dan tidak boleh ada satupun piring yang rusak.

Kakek pun bertanya, bagaimana dia bisa membuktikan kalau yang menabuh genderang ini adalah Orang Bunian? Jamal bercerita dulu dia bersama dua asisten lain sempat turun ke situ. Berbekal senter dan pisau panjang mereka bertiga menuju lembah dan berjalan menuju sumber suara. Mereka sudah berjalan cukup jauh, tetapi suara itu tetap hanya terdengar sangat dekat, tidak pernah ditemukan sumber suara. Dikarenakan hari sudah gelap, mereka pun membatalkan petualangan mereka dan bergegas pulang.

Kita bisa menemukan banyak informasi mengenai “Orang Bunian” ini dan membaca baca mengenai kisah mereka di cerita masyarakat sekitar. Saya yakin mereka ada, karena saya sudah terlalu sering mendengarkannya, dan apalagi kakek saya sendiri juga menceritakan ini ke saya (Red)


Monday, August 17, 2015

Memindahkan Mahluk Halus Penghuni Pekarangan


Apabila Anda ingin membeli dan memiliki tanah pekarangan, maka rasakanlah apa ada makhluk halus yang hidup di sana.

Apabila tanah pekarangan tersebut ternyata dihuni oleh makhluk-makhluk halus maka yang perlu Anda lalukan adalah tidak perlu memaksakan diri untuk membelinya. Sebab nanti diperkirakan makhluk halus tersebut akan mengganggu kehidupan Anda.
Namun apabila memang sangat terpaksa Anda membeli tanah pekarangan tersebut, maka langkah yang perlu dilakukan adalah meminta agar mereka untuk pindah sebelum dibangun rumah. Sebab bila tidak, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Misalnya ada anggota keluarga yang mengalami gangguan sakit, rumah tangga bercerai berai dan lain-lain.
Untuk memindahkan makhluk halus, yang perlu dilakukan adalah: Puasa 3 hari atau 7 hari dan saat malam tidak tidur. Baca sholawat 100 kali setiap malam jam 12 setelah itu diakhiri dengan bacaan astagfirullahhal adzim. Setelah semua amalan itu dilakukan maka baca rapalan sebagai berikut:
“Ya dayina yani yanu yamarkaba yasiyata yasiyara ya’amusa yarimua yadibuda yadibaya”
Setelah itu, di setiap pojok bidang tanah ditanam jimat yang ditulis di kertas atau kain. Jimatnya sebagai berikut:



Saduran : http://kampungwongalus.blogspot.com

Pasambahan Mantra Minang



PAMBUKAAN KATO
                                                                       
Assalammualaikum Dunsanak Kasadonyo,.....!
Paratamo sakali, marilah kito panjatkan puji syukur kahadirat Allah SWT, sahinggo di hari nan bak nagko, kito masih diberikan rahmad untuak bisa basuo. Sarato salawat bairiang salam kito hadiahkan untuak aruah Bagondo Rasulullah Nabi Muhammad SAW, yang lah bajaso mambao umaik dari alam kegelapan ka arah yang tarang bandarang saparati yang lah samo dirasoan saat kini.

Kapado Angu Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bapak, sarato Kakak, maafkan kami jikok pado akhirnyo talompek kato, dodorong langkah, tajambauan tangan. Sasungguahnyo kami balun lah baumua satahun jaguang, darah balun satampuak pinang, aka balun, pandapek pun kurang. Untuak itu, kami takua-kan kapalo nan satu, basusun jari nan sapuluah, mintak maklum pado kasadonyo.

Jikok ado parangai, kurenah dan tabiat nan indak pado tampeknyo, kami pun jo hati suci –muko nan janiah mintak ditagua, sarato dibari patunjuak. Karano nan ado di kami indaklah sabanyak nan di tuan, hanyo sebeang-sebeangnyo sajo.
https://pusatbahasaalazhar.files.wordpress.com

Yang mano pado rubrik nangko, izinkan kami mancubo manyingkok “Pusako Lamo Minangkabau” tantang rahasio alemu pangajian sagalo nan ado, dibungkuih jo ramuan ubek, taqwil mimpi, garak, hinggo dapek dipakai dalam hiduik sahar-hari. Satidaknyo nanti bisa dipakai untuak mamaliaro sanak saudaro, keluarga, tatkalo dibutuhkan.

Bak kato guru-guru juo, jikok tasasak kijang ka rimbo, barulah batengganglah ka alemu pangajian, sarato basarah diri ka nan kuaso. Sakali-kali bukan batujuan basifat sombong, kianat, lanco aniayo pado urang nan banyak, karano itu sangek dilarang manuruik pangajian Islam agamo kito.


Untuak labiah jalehnyo, kami akan sajikan sabagian rahasio tantang mantra, ramuan, panangka :
PAKAURAN MAMBAKA KUMAYAN
PAGA DIRI
GAYUANG
TINGGAM PARMAYO
SIJUNDAI
ASIK LUKAH
SIBILAH LANTAI
PALASIK
TUJU GALANG-GALANG

TAQWIL MIMPI
RAMUAN UBEK
PANGAJIAN TUBUAH JO TARIKAT
KAJI KA MATI
KAJIAN ROH DAN NYAWA
KAJIAN TABANG BANGKAI
Sarato lainnyo barang sado ado..


     *** SELAMAT  MENIKMATI  RUBRIK  INI,   BABAGI  PUSAKO  LAMO  KA  UNTUAK  JADI P AKAIAN ***  








   

Sunday, August 16, 2015

Yang Tua pun Ikut Menari



Kabupaten Solok termasuk salah-satu daerah  kaya akan khasanah budaya,  memiliki beragam kesenian tradisi yang pada-sewaktu-waktu  ditampilkan sebagai hiburan rakyat.  Seperti halnya tari piring yang lazim dimainkan anak muda, justru di Solok melibatkan kalangan tua-tua.  

Liputan - Solok

Meski sudah tua, namun gerakan mereka terlihat tak kalah gemulai, sesekali meliuk ke kanan ke kiri tanpa beban, mengikuti suara gendang, talempong pacik dan alunan bansi yang berkolaborasi menjadi sebuah irama yang khas.  Sesekali penari juga berguling layaknya harimau  hendak menerkam mangsa, setelah penari lainnya dengan ekspresi menjujai di depan.  Dalam suasana demikian, piring di tangan tidak pernah jatuh/ lepas. Atas atraksi  ini,  dibalasi tepuk tangan meriah oleh para penonton. 

Tari piring klasik dengan penari hanya berjumlah dua orang ini dapat dijumpai di Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, biasa dibawakan pada saat malam bergurau acara pernikahan, turun mandi dan aqikah.  Selain itu,  ada juga sebagai pengisi waktu rehat dalam kegiatan latihan kesenian Randai pada setiap Sabtu malam di Jorong Gelanggang, Nagari Gauang.  Namun tarian ini bukan merupakan tarian umum layaknya ditampilkan pada berbagai acara, maupun mengisi kegiatan seremoni.   Melainkan tarian tuo yang hanya dapat diperagakan orang-orang tertentu.

Jika diperhatikan, selain ada gerak tari umum, dalam tari ini  hampir 70 persen lebih menyadur gerakan-gerakan jurus silek Minang, seperti diantaranya  gerak langkah ampek, mangipeh (mengibas/menangkis serangan), manggelek (mengelak), serta mangirok.  Maka tidak mengherankan bila ternyata penari dalam tarian ini lebih dominan hanya dibawakan oleh orang tua-tua, atau anak nagari yang pandai bersilat.

Mak Adir,65, seorang tuo silek yang juga mahir dalam berbagai jenis kesenian tradisional lainnya, termasuk badendang dan basaluang di Nagari Gauang, menuturkan, tari tuo ini merupakan salah-satu bentuk kesenian klasik dan kuno, biasanya hanya dibawakan sebagai pengisi waktu istirahat dalam latihat silat dan randai. Selain bersifat hiburan terhadap sesama teman sepergruan, tujuannya juga untuk melatih kelenturan tubuh maupun pesendian. Makanya kemahiran seseorang dalam ilmu beladiri silat  cukup ditentukan oleh kelenturan tubuh. Namun karena diminati masyarakat, sesekali dipertontonkan juga guna mengisi acara malam bergurau, dan itupun untuk acara tertentu pula.

Namun sayang, lanjut Mak Adir, tradisi ini mulai digilar roda zaman, hingga suatu saat nanti bisa tinggal kenangan. Karena perkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi cukup berpotensi mengkikis khasanah dan kearifan lokal yang  ada, kalangan muda tak lagi tertarik dengan tradisi begini-beginian.  Padahal sungguh banyak nilai-nilai positif yang bisa dipetik, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Selain untuk diri sendiri, melalui kesenian tradisional juga bisa sebagai ajang perekat tali kekeluargaan dalam suatu nagari. Dengan sering bertemu di sasaran silat dan gelanggang kesenian, jembatan hati satu sama lain pun akan terbina dengan sendirinya,” imbuhnya.

Meminimalisir kelestarian budaya dan kesenian tradisional diambang kepunahan, Mak Adir mengharapkan generasi muda untuk kembali  belajar segala hal demi mempertahankan khasanah nagari, meski perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap menggeluti kehidupan sehari-hari mereka.  Jangan sampai genarasi penerus suatu saat nanti malah  belajar ke negeri lain dalam mendapatkan kesenian tradisional di negerinya sendiri.  (***)

*** Disadur dari Harian Pagi Padang Ekspres 

Bukik Posuak, Keajaiban Dunia Dari Maek



Selain lebih dikenal sebagai Nagari Seribu Menhir, ternyata pesona alam Nagari Maek, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Limapuluh Kota, juga tak kalah eksotik dan menakjubkan, Bahkan di nagari ini ada terdapat sebuah pemandangan cukup langka, yakni bukit berlobang. Pemandangan tersebut dengan jelas dapat disaksikan dari pusat perkampungan, yang  oleh masyarakat setempat dinamai Bukik Posuak. Bagaimana kisahnya ?

Pusako— Limapuluh Kota

Berdasarkan cerita warga di Nagari Maek, dahulu pernah ada seorang Raja yang berkuasa di Maek, bernama Bagindo Ali. Selain sebagai pemimpin negeri, Bagindo Ali juga memiliki hobi berburu rusa di hutan, dan keetulan ia cukup mahir memanah.

Dalam setiap pergi berburu ke hutan, Sang Raja selalu didampingi para pengawalnya yang masing-masinya juga memiliki keahlian tersendiri, dan baru akan kembali pulang setelah mereka berhasil menangkap buruan.  Terkadang untuk mendapatkan buruan, rombongan pun harus bermalam selama berhari-hari di dalam hutan belantara.

Setiap kali Sang Saja melepskan anak panah, berpantang tidak akan mengena. Maka, tidaklah mengherankan, begitu Badindo Ali sempat membidik sesuatu, para pengawal pun akan langsung berlari menuju sasaran tempat anak panah Sang Raja bersarang. Bangkai rusa dibopong dibawa pulang.

Namun suatu ketika, setelah sehari suntuk mengarungi hutan, rombongan belum juga menjumpai satu ekor rusa pun. Hingga membuat Bagindo Ali kala itu ikut geram, penasaran, kenapa dia dan anak buahnya sempat bernasib sial.  Dengan tetap penuh semangat, petualangan pada sore itu dilanjutkan sesuai intruksi Raja.

Berkat gigih, gayung pun bersambut. Seekor rusa jantan besar sekilas terlihat melintas di sela-sela rerumpun ilalang, menuju sebuah tepian anak sungai yang mengalirkan air begitu jernih. Tanpa harus membuang waktu, Sang Raja yang kala itu ternyata ikut melihat targetnya, langsung membidik dan menarik tali busur, hinnga anak panahnya melesat secepat kilat. Beberapa orang pengawal seketika berlari menuju sasaran.

Akan tetapi, kali ini tembakan jitu Bagindo Ali meleset, hingga si rusa berhasil kabur. Spontan, Sang Raja langsung naik pitam, tak biasanya anak panahnya mendurhakainya seperti itu. Dengan wajah yang kian garang, Sang Raja didampingi seluruh pengawal kembali mengejar rusa misteri tersebut, seraya sesekali melangkah menginjit-injit dibalik semak. Sialnya, setelah berjam-jam mengintai, buruan tersebut belum kunjung menampakan diri.

Berkat sabar, akhirnya Bagindo Ali berhasil memergoki rusa jantan yang dimaksud dekat tepian sebuah sungai, dan langsung membidik sembari menarik tali busur secara penuh. Ssstt, anak panah Sang Raja pun seketika bersarang persis di bagian leher si rusa.  Tak hayal, petualangan yang melelahkan itu dapat segera terbayarkan. Saking kesal, Bagindo Ali mengeluarkan pedang dari sarangnya, dan mencincang tubuh rusa misterius tersebut.  

Guna membalas sakit hati, Sang Raja dengan sekuat tenaga melemparkan potongan paha rusa hasil buruannya itu arah ke bukit, hingga membuat leher bukit berlobang, dan tembus ke daerah sebelah.  Kebetulan tempat mendaratnya potongan paha rusa, dinamai Bukit Paha Rusa.  

Selanjutnya, peristiwa tersebut hingga sekarang secara turun-temurun terus melegenda di tengah-tengah masyarakat Nagari Maek, meski sesungguhnya kebenarannya memang sulit diterima dengan logika. Bukit berlobang berdiametar sekitar 24 meter persegi itu dinamai Bukik Posuak, yang oleh masyarakat setempat cukup diyakini menyimpan misteri tersendiri.

Jadikan Potensi Unggulan dan Ikon Sumbar
Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Maek, Anwar Dt.Siri, menuturkan, meski riwayat Bukit Posuak berawal dari sebuah cerita rakyat, namun obyek tersebut menurutnya patut dipromosikan sebagai salah satu obyek unggulan di Sumbar, karena hanya ada satu di Indonesia, dan dua di Dunia. Maka, Pemkab Limapuluh Kota bersama Pemerintah Provinsi (Pemrov) Sumbar perlu mengangkat Bukik Posuak sebagai obyek yang lebih bernilai jual.

“Terlepas dari legenda terciptanya Bukik Posuak, yang jelas Obyek Bukik Posuak bentuknya sangat unik, serta terkesan sebuah keajaiban,” tukas Anwar.

Diakui Anwar, karena minimnya perhatian pihak berkompeten, Bukik Posuak nyaris luput dari perhatian Masyarakat Sumbar, bahkan masyarakat Limapuluh Kota sendiri masih juga ada yang tidak tahu. Dikarenakan akses jalan menuju Nagari Maek yang hanya berjarak 35 km dari pusat kota Limapuluh Kota, memang begitu memprihatinkan.  Akhirnya Bukik Posuak masih saja tenggelam bersamaan dengan ketidak tahuan publik.

“Kalau memang Pemerintah Daerah berniat mempromosikan Bukit Posuak sebagai salah satu obyek unggulan, masyarakat Maek pun bersedia membuka diri,” pungkas Anwar.

Ditambahkan Tokoh Perantau, Dedi Permana, jika Bukik Posuak dipromosikan secara ekstra, diyakini obyek yang satu itu bakal segera mendunia, dengan bentuknya yang unik pasti mengundang adrenalin wisatawan.  Ditambah Nagari Maek juga merupakan Nagari Seribu Menhir, yang menurut para pakar sejarah diyakini termasuk daerah tertua terciptanya peradaban manusia di Sumbar.

“Hendaknya jangan hanya untuk dikenang, tapi bagaimana kedepannya Nagari Maek mampu menjadi daerah tujuan wisata. Salah satunya, perlu didukung dengan tersedianya infratruktur secara wajar, seperti perbaikan akses jalan utama menuju Maek yang kini masih memprihatinkan,” imbuh Dedi. (Red)

*** Disadur dari Harian Pagi Padang Eksprs

Saturday, August 15, 2015

Apa Itu Batu Batikam ?



Batu Batikam adalah salah-satu obyek cagar budaya bersejarah yang terdapat di Jorong Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum, Kabupaten Tanahdatar, Provinsi Sumatera Barat. Jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia, Batu Batikam berarti batu yang tertusuk.

Menurut sejarah yang berkembng, lubang tusukan yang ada di tengah batu itu merupakan bekas dari tusukan keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau di zaman Neolitikum,

Luas situs cagar budaya Batu Batikam sekitar 1.800 meter persegi, dulu berfungsi sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah bagi kepala suku. Batu ini berukuran 55 x 20 x 40 sentimeter, dengan bentuk hampir segi tiga. Pada bagian tengah batu batikam terdiri dari bahan batuan Andesit. 

Susunan batu disekeliling batu batikam seperti sandaran tempat duduk, berbentuk persegi panjang melingkar. Batu batikam sekaligus menjadi saksi sejarah yang melambangkan pentingnya perdamaian, musyawarah-mufakat dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau


Keunikan
Batu ini dinamakan batu batikam atau batu tertusuk adalah karena adanya bekas tusukan pada bagian batu tersebut.  Secara logika, hal ini mungkin sulit diterima dengan akal mengingat batu adalah sebuah benda padat yang sangat keras, sehingga tidak mungkin untuk ditusuk dan menyisakan sebuah lobang yang tembus.

Nemun menurut cerita dan keyakinan masyarakat setempat, Batu Batikam memang merupakan bekas tusukan keris milik Datuak Parpatiah Nan Sabatang, yang menjadikan batu batikam sebagai simbol perdamaian antar pemimpin yang berkuasa pada masa itu.

Cerita lain juga menyatakan bahwa peninggalan sejarah ini dahulu kala merupakan suatu tempat musyawarah para kepala suku. Hal lain yang menambah keunikan Batu Batikam adalah adanya sebuah pohon beringin yang sangat besar di sekitar kawasan tersebut. Selain itu, lubang pada batu batikam dapat disentuh dan dilihat langsung oleh setiap pengunjung.

Sejarah
Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan adalah dua orang saudara yang berlainan bapak. Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah seorang sosok yang dilahirkan dari seorang bapak yang memiliki darah aristokrat (cerdik pandai).

Sementara Datuak Katumanggungan adalah sosok yang dilahirkan dari seorang bapak yang otokrat (raja-berpunya). 

Tetapi kedua diantara mereka lahir dari seorang rahim ibu yang sama, dimana seorang wanita biasa seperti lainnya, bernama Puti Indo Jalito (Bundo Kanduang).  

Datuak Parpatiah menginginkan masyarakat diatur dalam semangat yang demokratis, atau dalam tatanannya "Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Namun Datuak Katumanggungan menginginkan rakyat diatur dalam tatanan yang hirarki "berjenjang sama naik, bertangga turun".  Karena perbedaan inilah akhirnya mereka bertengkar hebat.

Untuk menghindari pertikaian dan tidak saling melukai, Datuak Parpatiah dan Datuak Katumanggungan kemudian menikam batu tersebut dengan keris sebagai pelampiasan emosinya. Maka batu yang tertusuk akhirnya berlobang, dan oleh masyarakat Minangkabau disebut Batu Batikam.

Meskipun terkesan menyeramkan, namun Batu Batikam menjadi salah-satu lokasi wisata yang masih menarik minat wisatawan. Selain memiliki keunikan yag membuat wisatawan penasaran, batu ini juga mengandung nilai pelajaran, pengetahuan, dan hikmah tentang pentingnya perdamaian.

Hingga saat ini, pendapat yang berbeda antara Datuk Parpatih nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan masih terlihat dari adanya dua keselaran di Minangkabau, yakni keselarasan Koto Pilang yang mencerminkan sistem kekuasaan ala Datuk Katumanggungan, dan keselarasan Bodi Chaniago yang merupakan perwujudan sistem pemeirntah ala Datuk Parpatih Nan Sabatang. (Red)