Sunday, August 16, 2015

Yang Tua pun Ikut Menari



Kabupaten Solok termasuk salah-satu daerah  kaya akan khasanah budaya,  memiliki beragam kesenian tradisi yang pada-sewaktu-waktu  ditampilkan sebagai hiburan rakyat.  Seperti halnya tari piring yang lazim dimainkan anak muda, justru di Solok melibatkan kalangan tua-tua.  

Liputan - Solok

Meski sudah tua, namun gerakan mereka terlihat tak kalah gemulai, sesekali meliuk ke kanan ke kiri tanpa beban, mengikuti suara gendang, talempong pacik dan alunan bansi yang berkolaborasi menjadi sebuah irama yang khas.  Sesekali penari juga berguling layaknya harimau  hendak menerkam mangsa, setelah penari lainnya dengan ekspresi menjujai di depan.  Dalam suasana demikian, piring di tangan tidak pernah jatuh/ lepas. Atas atraksi  ini,  dibalasi tepuk tangan meriah oleh para penonton. 

Tari piring klasik dengan penari hanya berjumlah dua orang ini dapat dijumpai di Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, biasa dibawakan pada saat malam bergurau acara pernikahan, turun mandi dan aqikah.  Selain itu,  ada juga sebagai pengisi waktu rehat dalam kegiatan latihan kesenian Randai pada setiap Sabtu malam di Jorong Gelanggang, Nagari Gauang.  Namun tarian ini bukan merupakan tarian umum layaknya ditampilkan pada berbagai acara, maupun mengisi kegiatan seremoni.   Melainkan tarian tuo yang hanya dapat diperagakan orang-orang tertentu.

Jika diperhatikan, selain ada gerak tari umum, dalam tari ini  hampir 70 persen lebih menyadur gerakan-gerakan jurus silek Minang, seperti diantaranya  gerak langkah ampek, mangipeh (mengibas/menangkis serangan), manggelek (mengelak), serta mangirok.  Maka tidak mengherankan bila ternyata penari dalam tarian ini lebih dominan hanya dibawakan oleh orang tua-tua, atau anak nagari yang pandai bersilat.

Mak Adir,65, seorang tuo silek yang juga mahir dalam berbagai jenis kesenian tradisional lainnya, termasuk badendang dan basaluang di Nagari Gauang, menuturkan, tari tuo ini merupakan salah-satu bentuk kesenian klasik dan kuno, biasanya hanya dibawakan sebagai pengisi waktu istirahat dalam latihat silat dan randai. Selain bersifat hiburan terhadap sesama teman sepergruan, tujuannya juga untuk melatih kelenturan tubuh maupun pesendian. Makanya kemahiran seseorang dalam ilmu beladiri silat  cukup ditentukan oleh kelenturan tubuh. Namun karena diminati masyarakat, sesekali dipertontonkan juga guna mengisi acara malam bergurau, dan itupun untuk acara tertentu pula.

Namun sayang, lanjut Mak Adir, tradisi ini mulai digilar roda zaman, hingga suatu saat nanti bisa tinggal kenangan. Karena perkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi cukup berpotensi mengkikis khasanah dan kearifan lokal yang  ada, kalangan muda tak lagi tertarik dengan tradisi begini-beginian.  Padahal sungguh banyak nilai-nilai positif yang bisa dipetik, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Selain untuk diri sendiri, melalui kesenian tradisional juga bisa sebagai ajang perekat tali kekeluargaan dalam suatu nagari. Dengan sering bertemu di sasaran silat dan gelanggang kesenian, jembatan hati satu sama lain pun akan terbina dengan sendirinya,” imbuhnya.

Meminimalisir kelestarian budaya dan kesenian tradisional diambang kepunahan, Mak Adir mengharapkan generasi muda untuk kembali  belajar segala hal demi mempertahankan khasanah nagari, meski perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap menggeluti kehidupan sehari-hari mereka.  Jangan sampai genarasi penerus suatu saat nanti malah  belajar ke negeri lain dalam mendapatkan kesenian tradisional di negerinya sendiri.  (***)

*** Disadur dari Harian Pagi Padang Ekspres 

No comments:

Post a Comment