Perlu Regulasi yang Berkeadilan
Pasca dibukanya kran kebebesan
diikuti program pendidikan gratis bagi sekolah negeri tingkat SMA/SMK
sederajat, tak hayal membuat eksistensi sekolah swasta di Kota Solok kian berada
diujung tanduk. Salah-satunya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kosgoro, yang
sebelumnya tercatat sebagai salah-satu sekolah swasta favorit/ terbesar di
Solok, kini malah ngos-ngosan bertahan hidup. Kedepan, diharapkan segera
terlahir sebuah terobosan dan regulasi secara tepat, berkeadilan.
laporan— Solok
Saking beratnya tantangan,
saat ini jumlah siswa SMK Korgoro secara
keseluruhan mulai dari kelas X - XII dilaporkan hanya tinggal tersisa sekitar
100 orang, dan itupun kebanyakan berasal
dari luar daerah pula. Akibatnya, sekolah kejuruan kelompok bisnis managemen
yang beroperasi di komplek kampus, kawasan Kotopanjang, Kecamatan Lubuk
Sikarah, Kota Solok, kondisinya kian mencemaskan, puluhan ruang belajar kosong.
Kondiisi miris tersebut sudah
mulai bergulir semenjak tahun 2005 silam, dimana saat itu seluruh sekolah
lanjutan menengah atas (SMA/SMK) sederajat secara serentak membuka kran
kebebasan dalam merekrut calon siswa baru. Namun untuk terkesan professional,
seluruh sekolah menerapkan sistem penerimaan online (PSB), jalur tes, seleksi, sebagaimana telah digariskan secara nasional.
Namun nyatanya, dibalik terapan sistem PSB online diam-diam tetap
membonceng banyak kepentingan, hingga
berjibun calon siswa baru kurang kompeten pun dipaksakan tetap bisa lulus di
sekolah yang diinginkan. Paling tidak,
dikondisikan pihak sekolah nimbrung dibangku cadangan, naik di jalan, dan lain
sebagainya.
“Soal kondisi sekarang SMK
Kosgoro Solok, masyarakat dapat melihat sendiri bagaimana keadaannya.
Penyebabnya, sudah komplikasi, meski kami selaku pihak pengelola sudah berupaya
mati-matian mengoperasikan sekolah ini,” tukas Kepala SMK Kosgoro Solok, Anna Zurza,
baru-baru ini.
Lebih parah lagi, SMK Wiyata
Mandala (kelompok bisnis managemen), di
kelurahan tanah Garam, telah lebih dua tahun terpaksa menjemput ajal gara-gara
sekolah itu tak punya siswa baru. Begitupun SMA PGRI, STM Korgoro, STM Kharima,
aktivitasnya resmi ditutup.
Ketua Aliansi Indonesia (AI)
Perwakilan Solok, Syofinal Tanjung, menilai, fenomena ini perlu segera disikapi
oleh Pemerintah Kota Solok, bagaimana agar sistem pendidikan dapat
terselenggara tanpa tumpang tindih, berkeadilan. Seperti misalnya sekolah
swasta yang seyogyanya dikelola oleh yayasan, tetap harus diperhitungkan
sebagai lembaga pendidikan formal. Jangan dianaktirikan, hingga proses
perkembangannya dibiarkan begitu saja.
Sebab Kota Solok termasuk
salah-satu daerah yang didentik sebagai kota pendidikan, plus didukung dengan
tersedianya lima perguruan tinggi berbagai prodi, setiap tahun menelorkan
ratusan tenaga sarjana mulai diploma III hingga S1. Sudah barang tentu, sebelum memasuki jenjang
pendidikan tinggi terlebih dahulu warga masyarakat melewati jenjang
SMA/SMK.
“Walau bagaimanapun,
sekolah-sekolah swasta mulai dari tingkat SD – SMA, SMK sederajat se-Kota Solok adalah asset
daerah, maka eksistensinya perlu diperhatikan, dievaluasi secara kontinue.
Kalau ada keluhan, masalah, mesti carikan juga solusi,” hemat Syofinal.
Sebagai lembaga kontrol
sosial, juga sempat ditekankan Sofinal Tanjung, agar dalam menerimaan calon
siswa baru di tingkat SMP, SMA, jangan ada tekanan dari pihak manapun, biarkan
pihak sekolah bekerja sesuai procedural. Seperti misalnya para anggota dewan (DPRD),
pejabat pemerintah, aparat ini dan itu, tatkala anak-kemenakan sekalipun
dinyatakan gagal tes, jangan dipaksakan untuk tetap diterima. Sebab sikap tak
terpuji ini cukup bardampak buruk terhadap mutu dan kwalitas pendidikan,
sekaligus membunuh sekolah swasta.
Saking kuatnya arus desakan
sejumlah kalangan dalam proses penerimaan siswa baru, sejumlah sekolah akhirnya
terpaksa melakukan penambahan lokal, ruang belajar. Seperti misalnya SMKN 1
Kota Solok, jumlah kelas X akhirnya mencapai 18 lokal, siswa ribuan orang, diikuti
penambahan lokal di SMAN 1 Kota Solok. Sangat kontras dengan sekolah SMA/ SMK
swastas, siswa barunya hanya berjumlah belasan orang.
Meski secara kwalitas
terbilang bersaing, sarana prasarana lengkap, gedung kampus milik sendiri,
namun sekolah swasta tetap kalah pamor.
Seperti halnya SMK Kosgoro, sebelumnya tercatat sebagai salah-satu
sekolah swasta terbesar di Solok, SDM tenaga pendidik cukup handal, para
lulusan rata-rata menjadi orang sukses.
“Kuncinya terletak ditangan
pimpinan daerah, sejauh mana ketegasan dan komitmennya untuk mau menegakkan
sistem sesuai aturan, mekanisme,” imbuh Syofinal.
Faktor Persaingan, Swasta Lumpuh
Kepala Dinas Pendidikan Kota
Solok, Rafatli, menegaskan kondisi miris yang dialami sekolah-sekolah swasta di
Kota Solok menurutnya adalah sebuah konsekwensi yang harus diterima seiring
kian pesatnya arus globalisasi, persaingan. Bukan serta-merta hanya disebabkan oleh faktor monopili persaingan
oleh sekolah swasta,serta kurang pedulinya Pemko Solok terhadap sekolah swasta.
“Kini masyarakat kian banyak
pilihan dalam melanjutkan kemana mereka akan melanjutkan sekolah, baik itu
sekolah umum maupun kejuruan. Bukan hanya di Kota Solok, melainkan fenomena tersebut juga terjadi hampir di
semua daerah. Ditambah gedung sekolah
negeri baru terus bermunculan mulai dari di tingkat pelosok, hingga pasar
sekolah swasta kian terbatas,” jelasnya.
Kedati demikian, kedepan Dinas
Pendidikan akan mencoba memikirkan terobosan secara tepat, hingga
sekolah-sekolah swasta mulai dari SD – SMA/SMK tetap dapat beroperasi
sebagaimana mestinya. (red)
No comments:
Post a Comment