Wednesday, August 12, 2015

Warisan Leluhur Dalam Balutan Hari Raya Idul Fitri

Warga Gauang Rayo Katampek


Di banyak daerah, momentum lebaran Idul Fitri 1 Syawal 1436 H mungkin banyak diisi dengan berkunjung ke rumah sanak keluarga, famili, selanjutnya jalan-jalan ke tempat-tempat wisata/  hiburan yang ada di daerah.  Namun berbeda halnya dengan masyarakat Nagari Gauang, Kabupaten Solok, mereka justru selama sepekan berbondong-bondong ke pandam pekuburan untuk melaksanakan ritual ‘Rayo Katampek’.  Konon ritual ini lebih dari sekadar berlebaran,  bagaimana kisahnya ?



Liputan— Solok
Sebagai masyarakat nagari sosial hukum adat,  perkampungan kecil berpenduduk sekitar 2000 jiwa, yang terdapat di ujung Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, berbatas langsung dengan Kota Solok, secara sepintas terlihat tidak jauh berbeda dengan nagari lainnya. Negerinya bersahaja, mata pencaharian masyarakat 60 persen bergayut dari sektor pertanian padi, berkebun karet, dan kakao.  

Sebahagian lainnya menjadi PNS, pegawai swasta, pedagang kecil, serta wisraswasta berbasis UMKM. Nagari Gauang juga dikenal sebagai daerah penghasil batu merah (batu bata) selain Nagari Aripan, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok.

Akan tetapi dibalik kondisi sosial yang terlihat biasa-biasa saja seiring kian derasnya irama zaman, ilmu pengetahuan teknologi, Nagari Gauang masih mampu bertahan dengan seabrek kearifan lokalnya. Salah-satu kegiatan tradisi yang masih lestari, yakni ritual ‘Rayo Katampek’.  

Dari penelusuran Padang Ekspres di sejumlah lokasi Rayo Katampek, seperti komplek pandam pekuburan Guguk Limausirek di Jorong Gelanggang, Sabtu (18/7), Tampek Gadang Jorong Bansa, serta Jirek Tapuih, Kubang Epoh di Jorong Bansa, Minggu (19/7). Ratusan masyarakat antusias mengkikuti jalannya  upacara adat pasca 1 Syawal lebaran Idul Fitri tersebut.  Tidak terkecuali diantaranya kalangan muda, warga perantau, serta anak-anak.

Dalam satu hari kegiatan, Rayo Katampek bisa berlangsung di tiga lokasi berbeda, sistem pelaksanaan digelar secara bergantian. Upacara adat yang dihadiri seluruh elemen masyarakat ini dimulai pagi hari, dan akan berakhir petang hari, tergantung seberapan banyak lokasi di hari itu terjadwal. Begitu seterusnya, sampai momentum itu ditutup di Areal  Jirek Gadang, yang terdapat di Jorong Bansa, Nagari Gauang.

Dari awal hingga akhir, Rayo Katampek digelar selama 7 hari, dimulai 2 Syawal Idul Fitri. Jadwal dan tempat pandam pekuburan yang dikunjungi sudah tersusun sebagaimana mestinya secara turun-temurun,  sampai sekarang tidak berubah.  Jadi,  soal jadwal, lokasi, tidak perlu dimusyawarahkan, hanya tinggal menunggu gilirannya tiba.  Biasanya si tuan rumah/pihak sipangka helat, tahu kapan jadwal di padam pekuburannya, apakah itu hari ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat.

Secara umum Nagari Gauang memiliki tiga kaum adat, yakni kaum suku Caniago, Supanjang, dan suku Koto. Masing-masing kaum punya sejumlah pandam pekuburan, sistem pembagian sudah diatur sesuai adat dan garis keturunan, sako  jo  pusako.

Ketika jadwalnya tiba, si pemilik pandam pekuburan menjadi tuan rumah/ sipangka helat, dengan sendirinya mereka pun bahu-membahu memasak makanan hingga akhirnya dikemas menjadi  nasi bungkus, ditambah kue-kue dalam plastik. Makanan yang dipersiapkan ini oleh mereka disebut jamba, dari rumah dijujung lewat berjalan kaki ke lokasi acara oleh kaum perempuan, seraya berpakaian adat kebesaran (baju kuruang hitam basiba), selanjutnya dibagi-bagikan pada semua  pengunjung yang datang.

Rombongan kaum hawa pembawa jamba (makanan) biasanya berjalan berbaris di pinggir jalan umum nagari, momentum  tersebut  menjadi pemandangan khas tersendiri dalam setiap perayaan Lebaran Idul Fitri di Nagari Gauang. Tidak hanya kaum ibu-ibu, dalam rombongan pembawa makanan juga ikut diramaikan bidadari-bidadari cantik dari keluarga/ kaum bersangkutan.

Bersamaan dengan itu pula ratusan masyarakat yang sedari awal berkumpul memadati lokasi acara, bersukacita menunggu datangnya rombongan pembawa makanan tersebut. Yang tak kalah pentingnya, diantara para tamu yang hadir,  juga melibatkan Alim Ulama, Pemangku Adat, Cerdik Pandai, Pemuda, serta berbagai unsur lainnya.

Begitu pihak sipangka helat tiba, upacara Rayo Katampek pun dimulai. Diawali dengan ritual balaho (tahlilan), berpidato adat, serta diikuti pembacaan doa oleh Ulama Nagari. Kebetulan dipertengahan ritual, juga dilangsungkan pembagian jamba ke segenap tamu yang datang, disertai pengumpulan infak/sedekah.  Menurut tetua adat, pemuka agama, tradisi pengumpulan infak tujuannya untuk membantu biaya pembangunan Masjid Raya Gauang, yakni satu-satunya Masjid raya di nagari setempat yang posisinya terdapat di Jorong Bansa, persis berdampingan dengan Kantor KAN, Kantor Walinagari.

“Nasi bungkus dan beraneka macam makanan dipersiapkan oleh pihak sipangka helat. Begitu ritual Rayo Katampek berlangsung, semuanya dibagi-bagikan ke pengunjung yang hadir,” Ujar Alisar Manti Basa,67, seorang Ninik Mamak kaum suku Caniago disela berlangsungnya Rayo Katampek di Pandam Pekuburan Tampek Gadang, Jorong Bansa, Nagari Gauang.

Dikatakannya, jamba yang dibagi-bagikan ke pengunjung diimplementasikan sebagai sedekah, dengan pahala diniatkan bagi sanak keluarga yang berkubur di pandam perkuburan tersebut.  Rayo Katampek juga sekaligus menjadi ajang rutual akbar ziarah kubur, serta perekat tali silaturrahmi antar sesama. 

Yang paling penting, sambungnya, Rayo Katampek juga menjadi ajang berbagi informasi soal hubungan kekerabatan, pertalian antar sesama,  termasuk dengan para leluhur terdahulu.  Dimana pemahaman ini biasanya dijelaskan oleh para tetua ( pihak Bapak, Mamak), hingga generasi penerus dapat lebih faham akan sejarah turunan, perjalanan waktu, seluk beluk atas kaumnya secara detail.  

Dengan tradisi itu, diharapkan potensi pertikaian, selang-sengketa dalam kaum dan antar kaum kiranya dapat ditekan. Karena umumnya perselisihan  cenderung lebih disebabkan karena minimnya pengetahuan, pemahaman generasi penerus atas sejarah kaum/keluarga, serta sejauh mana sesungguhnya pertalian hubungan antar mereka. 


Parang Jadi Simbol, Merambah Kubur Jadi Kebanggaan
Sebelumnya, Wali Nagari Gauang, Rizal Idzeko, mengungkapkan, ada serangkaian kegiatan cukup unik sekaitan ritual Rayo Katampek di daerah yang dipimpinnya. Dimana sebelum digelar ritual adat Rayo Katampek, para kaum laki-laki dalam nagari melakukan kegiatan pembersihan tampat yang disebut tradisi merambah kubur. Sebagai simbolnya, para kaum dalam mengikuti Rayo Katampek pun membawa sebilah parang, atau pun cangkul, dan sabit.

Bagi kaum laki-laki, membawa parang ke lokasi acara ternyata menjadi kebanggaan tersendiri, pertanda mereka merasa ikut bekeluarga, serta peduli pada kaum pemilik pandam pekuburan tersebut. Sembari menunggu datangnya nasi bungkus, satu sama lain menancapkan parangnya persis di depan tempat duduk.      


No comments:

Post a Comment