Warga Gauang Rayo Katampek
Di banyak daerah, momentum lebaran
Idul Fitri 1 Syawal 1436 H mungkin banyak diisi dengan berkunjung ke rumah sanak
keluarga, famili, selanjutnya jalan-jalan ke tempat-tempat wisata/ hiburan yang ada di daerah. Namun berbeda halnya dengan masyarakat Nagari
Gauang, Kabupaten Solok, mereka justru selama sepekan berbondong-bondong ke pandam
pekuburan untuk melaksanakan ritual ‘Rayo Katampek’. Konon ritual ini lebih dari sekadar berlebaran, bagaimana kisahnya ?
Liputan— Solok
Sebagai masyarakat nagari sosial
hukum adat, perkampungan kecil berpenduduk
sekitar 2000 jiwa, yang terdapat di ujung Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok,
berbatas langsung dengan Kota Solok, secara sepintas terlihat tidak jauh berbeda
dengan nagari lainnya. Negerinya bersahaja, mata pencaharian masyarakat 60
persen bergayut dari sektor pertanian padi, berkebun karet, dan kakao.
Sebahagian lainnya menjadi PNS,
pegawai swasta, pedagang kecil, serta wisraswasta berbasis UMKM. Nagari Gauang
juga dikenal sebagai daerah penghasil batu merah (batu bata) selain Nagari
Aripan, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok.
Akan tetapi dibalik kondisi
sosial yang terlihat biasa-biasa saja seiring kian derasnya irama zaman, ilmu
pengetahuan teknologi, Nagari Gauang masih mampu bertahan dengan seabrek kearifan
lokalnya. Salah-satu kegiatan tradisi yang masih lestari, yakni ritual ‘Rayo
Katampek’.
Dari penelusuran Padang Ekspres
di sejumlah lokasi Rayo Katampek, seperti komplek pandam pekuburan Guguk
Limausirek di Jorong Gelanggang, Sabtu (18/7), Tampek Gadang Jorong Bansa,
serta Jirek Tapuih, Kubang Epoh di Jorong Bansa, Minggu (19/7). Ratusan
masyarakat antusias mengkikuti jalannya upacara adat pasca 1 Syawal lebaran Idul Fitri
tersebut. Tidak terkecuali diantaranya kalangan
muda, warga perantau, serta anak-anak.
Dalam satu hari kegiatan, Rayo
Katampek bisa berlangsung di tiga lokasi berbeda, sistem pelaksanaan digelar secara
bergantian. Upacara adat yang dihadiri seluruh elemen masyarakat ini dimulai
pagi hari, dan akan berakhir petang hari, tergantung seberapan banyak lokasi di
hari itu terjadwal. Begitu seterusnya, sampai momentum itu ditutup di Areal Jirek Gadang, yang terdapat di Jorong Bansa,
Nagari Gauang.
Dari awal hingga akhir, Rayo
Katampek digelar selama 7 hari, dimulai 2 Syawal Idul Fitri. Jadwal dan tempat
pandam pekuburan yang dikunjungi sudah tersusun sebagaimana mestinya secara
turun-temurun, sampai sekarang tidak
berubah. Jadi, soal jadwal, lokasi, tidak perlu
dimusyawarahkan, hanya tinggal menunggu gilirannya tiba. Biasanya si tuan rumah/pihak sipangka helat, tahu
kapan jadwal di padam pekuburannya, apakah itu hari ke-dua, ke-tiga, atau
ke-empat.
Secara umum Nagari Gauang memiliki
tiga kaum adat, yakni kaum suku Caniago, Supanjang, dan suku Koto.
Masing-masing kaum punya sejumlah pandam pekuburan, sistem pembagian sudah diatur
sesuai adat dan garis keturunan, sako jo pusako.
Ketika jadwalnya tiba, si
pemilik pandam pekuburan menjadi tuan rumah/ sipangka helat, dengan sendirinya
mereka pun bahu-membahu memasak makanan hingga akhirnya dikemas menjadi nasi bungkus, ditambah kue-kue dalam plastik.
Makanan yang dipersiapkan ini oleh mereka disebut jamba, dari rumah dijujung lewat
berjalan kaki ke lokasi acara oleh kaum perempuan, seraya berpakaian adat kebesaran
(baju kuruang hitam basiba), selanjutnya dibagi-bagikan pada semua pengunjung yang datang.
Rombongan kaum hawa pembawa
jamba (makanan) biasanya berjalan berbaris di pinggir jalan umum nagari,
momentum tersebut menjadi pemandangan khas tersendiri dalam
setiap perayaan Lebaran Idul Fitri di Nagari Gauang. Tidak hanya kaum ibu-ibu,
dalam rombongan pembawa makanan juga ikut diramaikan bidadari-bidadari cantik
dari keluarga/ kaum bersangkutan.
Bersamaan dengan itu pula
ratusan masyarakat yang sedari awal berkumpul memadati lokasi acara, bersukacita
menunggu datangnya rombongan pembawa makanan tersebut. Yang tak kalah
pentingnya, diantara para tamu yang hadir,
juga melibatkan Alim Ulama, Pemangku Adat, Cerdik Pandai, Pemuda, serta
berbagai unsur lainnya.
Begitu pihak sipangka helat
tiba, upacara Rayo Katampek pun dimulai. Diawali dengan ritual balaho (tahlilan),
berpidato adat, serta diikuti pembacaan doa oleh Ulama Nagari. Kebetulan dipertengahan
ritual, juga dilangsungkan pembagian jamba ke segenap tamu yang datang, disertai
pengumpulan infak/sedekah. Menurut tetua
adat, pemuka agama, tradisi pengumpulan infak tujuannya untuk membantu biaya pembangunan
Masjid Raya Gauang, yakni satu-satunya Masjid raya di nagari setempat yang
posisinya terdapat di Jorong Bansa, persis berdampingan dengan Kantor KAN,
Kantor Walinagari.
“Nasi bungkus dan beraneka macam
makanan dipersiapkan oleh pihak sipangka helat. Begitu ritual Rayo Katampek
berlangsung, semuanya dibagi-bagikan ke pengunjung yang hadir,” Ujar Alisar
Manti Basa,67, seorang Ninik Mamak kaum suku Caniago disela berlangsungnya Rayo
Katampek di Pandam Pekuburan Tampek Gadang, Jorong Bansa, Nagari Gauang.
Dikatakannya, jamba yang
dibagi-bagikan ke pengunjung diimplementasikan sebagai sedekah, dengan pahala
diniatkan bagi sanak keluarga yang berkubur di pandam perkuburan tersebut. Rayo Katampek juga sekaligus menjadi ajang
rutual akbar ziarah kubur, serta perekat tali silaturrahmi antar sesama.
Yang paling penting, sambungnya,
Rayo Katampek juga menjadi ajang berbagi informasi soal hubungan kekerabatan,
pertalian antar sesama, termasuk dengan
para leluhur terdahulu. Dimana pemahaman
ini biasanya dijelaskan oleh para tetua ( pihak Bapak, Mamak), hingga generasi
penerus dapat lebih faham akan sejarah turunan, perjalanan waktu, seluk beluk atas
kaumnya secara detail.
Dengan tradisi itu, diharapkan
potensi pertikaian, selang-sengketa dalam kaum dan antar kaum kiranya dapat
ditekan. Karena umumnya perselisihan
cenderung lebih disebabkan karena minimnya pengetahuan, pemahaman
generasi penerus atas sejarah kaum/keluarga, serta sejauh mana sesungguhnya pertalian
hubungan antar mereka.
Parang Jadi
Simbol, Merambah Kubur Jadi Kebanggaan
Sebelumnya, Wali Nagari
Gauang, Rizal Idzeko, mengungkapkan, ada serangkaian kegiatan cukup unik
sekaitan ritual Rayo Katampek di daerah yang dipimpinnya. Dimana sebelum
digelar ritual adat Rayo Katampek, para kaum laki-laki dalam nagari melakukan kegiatan
pembersihan tampat yang disebut tradisi merambah kubur. Sebagai simbolnya, para
kaum dalam mengikuti Rayo Katampek pun membawa sebilah parang, atau pun cangkul,
dan sabit.
Bagi kaum laki-laki, membawa
parang ke lokasi acara ternyata menjadi kebanggaan tersendiri, pertanda mereka merasa
ikut bekeluarga, serta peduli pada kaum pemilik pandam pekuburan tersebut.
Sembari menunggu datangnya nasi bungkus, satu sama lain menancapkan parangnya
persis di depan tempat duduk.
No comments:
Post a Comment