Gendong Anak, Minta Restu ke Suku Koto
Ada cerita menarik dibalik
lestarinya Rumah Gadang di Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten
Solok. Sebelum dibangun, terlebih dahulu
mesti datang menggendong bayi, minta tiga macam beras ke pewaris Rumah Gadang
Kapalo Koto suku koto. Selanjutnya beras
dimasak menjadi bubur, dimakan bersama, pertada restu telah diberi. Bagaimana
pula kisahnya ?
Bandaro Mudo— Solok
Setelah menghimpun berbagi
informasi dari Wali Nagari Kinari, Bustani K Mangguang Sati, Ketua KAN,
Zulfahmi Dt.Rajo Lelo seputar resep lestarinya Rumah Gadang di negeri itu, tiba gilirannya Pusako wawancara
dengan dua orang perempuan tua, Nurina,80, dan Rabimah,76, pewaris Rumah Gadang Kapalo Koto milik Kaum
Dt.Panito Malin di Jorong Galanggang Tinggi. Rumah bersejarah nan fenomenal ini
oleh warga setempat juga disebut rumah tuo, jenis gajah maharam, memiliki
panjang enam ruang.
Rumah Gadang ini adalah satu
diantara dua rumah adat tertua di Kinari, dimana kembarannya terdapat di Ukua
Koto (ujung koto), masih tercatat milik Kaum Suku Koto di Jorong Galanggang
Tinggi. Meski ditaksir telah berusia lebih dari 300 tahun, namun sampai
sekarang masih kuat, berfungsi sebagai tempat hunian, sekaligus pusat pelaksanaan
berbagai upacara adat. Nurina,80, dan Rabimah,76, sendiri tinggal di dalamnya.
Menurut cerita yang berkembang,
dua rumah tua milik rang koto juga sekaligus bukti sejarah, setelah sebelumnya
Nagari Kinari dimasa silam pernah dihaguskan sigulambai (dilanda kebakaran
hebat hingga tak stupun diantara rumah penduduk yang tersisa. Buntut dari
musibah ini, kampung kecil berpenduduk 4.500 jiwa, bermata pencaharian 90
persen dari bertani, dirundung kesengsaraan. Semenjak itu pula banyak warga
harus mencari hidup ke negeri tetangga, bahkan merantau ke negeri seberang.
“Akibat kebakaran besar, hanya
dua Rumah Gadang yang tersisa, yaitu Rumah Tuo Kapalo Koto dan Rumah Tuo Ikua
Koto. Semenjak itu pula, hidup terasa sangat pahit, sisa-sisa persedian padi
dalam kapuak (rangkiang) hangus, sawah,ladang tak menjadi. Orang kampung ini
menyebutnya bala sigulambai,” Jelas Nurina di kediamannya.
Juga diungkapkannya, Rumah Tuo
Kapalo Koto adalah yang terunik di Nagari Kinari, dimana struktur bangunan tak
satupun memakai paku, dan diantara material satu dan lainnya saling menyambung hanya
dengan sistem pasak, pahat (punco). Daun jendela bagian depan dan belakang membuka
ke sisi atas, berbeda dengan umumnya rumah yang cenderung terbuka menyamping.
“Kami tak mau merobahhnya, semenjak
masih kecil-kecil pun bentuknya sudah seperti ini juga, daun jendela membukanya
ke atas. Sementara, bagian atap, memang telah sempat direnovasi di tahun 1968
silam, dari ijuk diganti atap seng,” Imbuhnya.
Gendong anak, minta restu
ke pewaris rumah tuo
Ditambahkan Rabimah, 76, yang
tak lain adik sepupu Nurina, pasca hangusnya Nagari Kinari dimamah sigulambai,
warga pun secara bertahap kembali merintis lembaran baru, terutama dalam
membangun gedung perumahan, serta membangun ekonomi lewat menggarap sawah dan
ladang. Karena sebelumnya rumah penduduk
mayoritas Rumah Gadang, maka Rumah Gadang pun diperioritaskan sebagai tempat
hunian keluarga/kaum secara gotong royong.
Namun semenjak itu pula, atas
kesepakatan warga nagari, mulailah berlaku sistem baru, yakni prosesi menjemput
beras sambil menggendong bayi, dibuat bubur untuk dimakan bersama. Selanjutnya,
tiap-tiap warga dalam suatu kaum/ suku dianggap telah mendapat izin, hingga
dilaksanakan prosesi mencari kayu tonggak
tuo (tiang utama) ke hutan sebagai langkah awal pembangunan rumah adat. Ini
sekaligus menjadi tonggak sejarah, dan berlaku secara turun-temurun.
Artinya, sebelum membangun
(Rumah Gadang), seorang perempuan sambil menggendong bayi dari kaum
bersangkutan mesti datang ke rumah tuo, dan meminta beras tiga macam (beras
putih, hitam, merah) untuk dimasak menjadi bubur. Setelah itu, disantap
bersama, dipatri dengan doa.
Pasca berlakunya aturan tak
tertulis ini, kembali mulai bermunculan Rumah Gadang di setiap korong kampung Nagari
Kinari, disusul rumah panggung, rumah hunian umum, dan lain sebagainya. Hingga sekarang,
setiap kali ada rumah adat hendak dibangun, mesti mematuhi tradisi tersebut.
“Tidak harus membawa anak
kandung, asalkan ada hubungannya dalam kaum itu. Setelah itu, diberi tiga macam
beras, untuk dimasak jadi bubur,” Kata
Rabimah.
Menurut Rabimah, prosesi
demikian juga bisa dilakukan ke ahliwaris Rumah Tuo Ikua Koto, karena Rumah
Gadang Kapalo Koto maupun Rumah Gadang Ekor Koto memangpunya hubungan, pertalian.
“Antara kaum di sini ataupun
di sana, kami berdunsanak (bersaudara),” tegas Rabimah.
Ketua
LKAMM Kabupaten Solok, Syafri Dt.Siri Marajo, memberikan apresiasinya atas
lestarinya Rumah Gadang di Nagari Kinari, dan ini menurutnya patut dijadikan
pilot project bagi daerah lain. Karena meskipun zaman kian canggih,
adat, budaya, nilai-nilai tradisi, tidak serta-merta ikut luntur terbawa
arus.
“Kalaulah setiap nagari punya prinsip seperti Kinari,
nilai-nilai adat, budaya, akan tetap tegak Dengan sendirinya,” Imbuh Syafri. (***)
izin share min
ReplyDelete