Wednesday, August 12, 2015

Kinari, Nagari 1001 Rumah Gadang (2)



       Gendong Anak, Minta Restu ke Suku Koto


Ada cerita menarik dibalik lestarinya Rumah Gadang di Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok.  Sebelum dibangun, terlebih dahulu mesti datang menggendong bayi, minta tiga macam beras ke pewaris Rumah Gadang Kapalo Koto suku koto.  Selanjutnya beras dimasak menjadi bubur, dimakan bersama, pertada restu telah diberi.   Bagaimana pula kisahnya ?

Bandaro Mudo— Solok

Setelah menghimpun berbagi informasi dari Wali Nagari Kinari, Bustani K Mangguang Sati, Ketua KAN, Zulfahmi Dt.Rajo Lelo seputar resep lestarinya Rumah Gadang di negeri itu,  tiba gilirannya Pusako wawancara dengan dua orang perempuan tua, Nurina,80, dan Rabimah,76,  pewaris Rumah Gadang Kapalo Koto milik Kaum Dt.Panito Malin di Jorong Galanggang Tinggi. Rumah bersejarah nan fenomenal ini oleh warga setempat juga disebut rumah tuo, jenis gajah maharam, memiliki panjang enam ruang.

Rumah Gadang ini adalah satu diantara dua rumah adat tertua di Kinari, dimana kembarannya terdapat di Ukua Koto (ujung koto), masih tercatat milik Kaum Suku Koto di Jorong Galanggang Tinggi. Meski ditaksir telah berusia lebih dari 300 tahun, namun sampai sekarang masih kuat, berfungsi sebagai tempat hunian, sekaligus pusat pelaksanaan berbagai upacara adat. Nurina,80, dan Rabimah,76, sendiri tinggal di dalamnya.

Menurut cerita yang berkembang, dua rumah tua milik rang koto juga sekaligus bukti sejarah, setelah sebelumnya Nagari Kinari dimasa silam pernah dihaguskan sigulambai (dilanda kebakaran hebat hingga tak stupun diantara rumah penduduk yang tersisa. Buntut dari musibah ini, kampung kecil berpenduduk 4.500 jiwa, bermata pencaharian 90 persen dari bertani, dirundung kesengsaraan. Semenjak itu pula banyak warga harus mencari hidup ke negeri tetangga, bahkan merantau ke negeri seberang.

“Akibat kebakaran besar, hanya dua Rumah Gadang yang tersisa, yaitu Rumah Tuo Kapalo Koto dan Rumah Tuo Ikua Koto. Semenjak itu pula, hidup terasa sangat pahit, sisa-sisa persedian padi dalam kapuak (rangkiang) hangus, sawah,ladang tak menjadi. Orang kampung ini menyebutnya bala sigulambai,” Jelas Nurina di kediamannya.

Juga diungkapkannya, Rumah Tuo Kapalo Koto adalah yang terunik di Nagari Kinari, dimana struktur bangunan tak satupun memakai paku, dan diantara material satu dan lainnya saling menyambung hanya dengan sistem pasak, pahat (punco). Daun jendela bagian depan dan belakang membuka ke sisi atas, berbeda dengan umumnya rumah yang cenderung terbuka menyamping.

“Kami tak mau merobahhnya, semenjak masih kecil-kecil pun bentuknya sudah seperti ini juga, daun jendela membukanya ke atas.  Sementara, bagian atap,  memang telah sempat direnovasi di tahun 1968 silam, dari ijuk diganti atap seng,” Imbuhnya.

Gendong anak, minta restu ke pewaris rumah tuo
Ditambahkan Rabimah, 76, yang tak lain adik sepupu Nurina, pasca hangusnya Nagari Kinari dimamah sigulambai, warga pun secara bertahap kembali merintis lembaran baru, terutama dalam membangun gedung perumahan, serta membangun ekonomi lewat menggarap sawah dan ladang.  Karena sebelumnya rumah penduduk mayoritas Rumah Gadang, maka Rumah Gadang pun diperioritaskan sebagai tempat hunian keluarga/kaum secara gotong royong.

Namun semenjak itu pula, atas kesepakatan warga nagari, mulailah berlaku sistem baru, yakni prosesi menjemput beras sambil menggendong bayi, dibuat bubur untuk dimakan bersama. Selanjutnya, tiap-tiap warga dalam suatu kaum/ suku dianggap telah mendapat izin, hingga dilaksanakan prosesi  mencari kayu tonggak tuo (tiang utama) ke hutan sebagai langkah awal pembangunan rumah adat. Ini sekaligus menjadi tonggak sejarah, dan berlaku secara turun-temurun.   

Artinya, sebelum membangun (Rumah Gadang), seorang perempuan sambil menggendong bayi dari kaum bersangkutan mesti datang ke rumah tuo, dan meminta beras tiga macam (beras putih, hitam, merah) untuk dimasak menjadi bubur. Setelah itu, disantap bersama, dipatri dengan doa.

Pasca berlakunya aturan tak tertulis ini, kembali mulai bermunculan Rumah Gadang di setiap korong kampung Nagari Kinari, disusul rumah panggung, rumah hunian umum, dan lain sebagainya. Hingga sekarang, setiap kali ada rumah adat hendak dibangun, mesti mematuhi tradisi tersebut.

“Tidak harus membawa anak kandung, asalkan ada hubungannya dalam kaum itu. Setelah itu, diberi tiga macam beras, untuk dimasak  jadi bubur,” Kata Rabimah.

Menurut Rabimah, prosesi demikian juga bisa dilakukan ke ahliwaris Rumah Tuo Ikua Koto, karena Rumah Gadang Kapalo Koto maupun Rumah Gadang Ekor Koto memangpunya hubungan, pertalian.

“Antara kaum di sini ataupun di sana, kami berdunsanak (bersaudara),” tegas Rabimah.  

Ketua LKAMM Kabupaten Solok, Syafri Dt.Siri Marajo, memberikan apresiasinya atas lestarinya Rumah Gadang di Nagari Kinari, dan ini menurutnya patut dijadikan  pilot project bagi daerah lain. Karena meskipun zaman kian canggih,  adat, budaya, nilai-nilai tradisi, tidak serta-merta ikut luntur terbawa arus. 



“Kalaulah setiap nagari punya prinsip seperti Kinari, nilai-nilai adat, budaya, akan tetap tegak Dengan sendirinya,” Imbuh Syafri.  (***)


















1 comment: