Yang Ratusan Tahun, Tetap Dihuni
Alam Minangkabau bersahaja,
kultur, adat dan budayanya begitu kental. Simbol kebesaran ranah bundo, juga ditandai
dengan berjejernya Rumah Adat (Rumah Gadang) di setiap korong dan kampuang,
plus Bamusajik (ada Masjid), Balai-balai adat, serta sebagainya. Namun bagaimana
dengan sekarang, masihkan seperti itu ? Setidaknya
sepenggal nuansa ini masih tersisa di Nagari Muara Panas, Kecamatan Bukit
Sundi, Kabupaten Solok.
Bandaro Mudo— Solok
Bukannya berlebihan, Nagari
Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, mungkin bisa dibilang satu diantara sekian
banyak perkampungan unik, klasik,
diperkuat pola kehidupan masyarakatnya yang homogen. Hingga secercah nilai-nilai
tradisi, adat dan budaya masih dapat tersimpan. Seperti halnya Rumah Gadang sebagai
simbol kebesaran Ranah Minang, terlihat berbaris-baris menghiasi korong
kampuang Kinari, sebahagiannya dilengkapi dengan sepasang Rangkiang penyimpan
padi.
Bahkan, masyarakat nagari Kinari sampai sekarang
masih menempati “rumah bagonjong” sebagai tempat hunian, meski diantaranya diketahui
telah berusia ratusan tahun. Dalam upacara perkawinan, kematian, batagak
gala/panghulu, serta sebagainya, diselenggarakan di rumah adat tradisional
“Rumah Gadang”. Seakan eksistensi Rumah
Gadang di negeri ini lebih dari sekadar rumah hunian, namun juga sekaligus menjadi
simbol kehormatan bagi setiap kaum/ suku.
Seakan seperti nagari lorong
waktu. Sekalipun arus globalisasi terus
menerpa begitu kuat, namun kampung kecil berpenduduk sekitar 4.500 jiwa ini, tidak
serta-merta ikut tergerus. Melainkan tetap eksis sebagai satu kesatuan nagari hukum
adat yang berdaulat akan nilai-nilai tradisi, adat, dan budaya. Tak hayal, Nagari Kinari pun berjuluk “Nnagari
1001 Rumah Gadang”
Wali Nagari Kinari, Bustani K
Mangguang Sati, dalam wawancara eklusifnya bersama Pusako beberapa
waktu lalu, mengaku jika nagari yang dipimpinnya tergolong unik, dimana jumlah rumah adat
tradisional (Rumah Gadang) masih terhampar cukup banyak. Dari hasil pendataan
tahun 2013 lalu, seluruhnya tercatat lebih
dari 100 unit, menyebar hampir merata di seluruh jorong ( berjumlah 4 Jorong). Diantaranya
Jorong Galanggang Tinggi, Bungo Harum, Pamujan, Tapi Ayie. Jumlah suku
berjumlah 8, meliputi suku Melayu, Panai, Tanjuang, Tanjuang Sikumbang, Koto,
Guci, Caniago, dan Kutianyie.
“Kalau dihitung secara
rata-rata, mungkin tiap tiga Kepala Keluarga (KK) punya satu Rumah Gadang. Terlebihi
mereka dari keluarga bangsawan, keturunan datuak, bisa lebih dari itu,”
katanya.
Dijelaskannya, Rumah Gadang di
negeri ujung belahan selatan Bukit Sundi,
terbagi atas dua jenis, diantaranya Rumah Gadang Baanjuang (lantai sisi
kiri - kanan ditinggikan sekitar 30 cm),
dan tidak pakai anjungan. Arsitekturnya, ada panjang enam ruang (memiliki
6 kamar), empat ruang, tergantung seberapa banyak jumlah anggota keluarga/kaum
pemilik rumah adat itu sendiri.
“Jumlah ruang Rumah Gadang ditentukan
oleh seberapa banyak jumlah anggota keluarga dalam kaum itu. Sebelum dibangun, ada ketentuan,
tahapan-tahapannya secara adat pula,” tukas Wali Nagari.
Dalam setiap upacara pesta
perkawinan, penduduk Kinari mayoritas petani masih menjadikan Rumah Gadang
sebagai pusat kegiatan, sekalipun mereka telah punya gedung perumahan tergolong
bagus. Artinya calon mempelai mesti turun dari Rumah Gadang, dan selanjutnya naik
ke Rumah Gadang pula. Bagi calon mempelai yang berjodoh dengan warga non
pribumi, terlebih dahulu harus mengaku mamak, atau mencari orangtua angkat
hingga dikukuhkan secara adat. Jika ketentuan ini dilanggar, diberlakukan
hukuman adat.
Begitupun dengan pelaksanan upacara
kematian, batagak penghulu, acara syukuran dan lain sebagainya, mesti dilangsungkan
di rumah adat kaum masing-masing. Demikian penting, sakral, fungsi Rumah Gadang
bagi masyarakat Kinari.
Harus Dihuni, Sekalipun
Berusia Ratusan Tahun
Guna menjaga kelestarian rumah
adat “Rumah Gadang”, Pemerintahan Nagari Kinari juga memberlakukan aturan
khusus bagi warganya, dimana pemilik rumah adat diharuskan untuk menempati
rumah adatnya sebagai tempat hunian.
Minimal rumah adat tradisional
terbuat dari kayu, berarsitektur laksana kapal tengah berlayar, beratap sisi
kanan-kiri lancip menjulang ke langit, tetap ditunggui oleh satu keluarga yang
tercatat sebagai garis keturunan dalam kaum bersangkutan. Tidak cukup satu
keluarga, orang tua telah berusia lantut pun tak jadi soal, asalkan Rumah Gadang
tetap ada yang menghuni. Tujuannya, supaya Rumah Gadang tetap terpakai dan
terawat.
“Kalaulah sempat tak dihuni
apalagi dibiarkan terlantar, Rumah Gadang akan cepat lapuk. Hal ini yang sangat
dicemaskan, maka diintruksikan tetap harus ditempati,” Imbuh Wali Nagari
Kinari, Bustani K Mangguang Sati.
Sekalipun yang telah berusia
puluhan, ratusan tahun, tetap harus dipertahankan.
Bahkan semakin berumur, justru sebuah Rumah Gadang bagi Warga Kinari akan
semakin bernilai, dan sakral. Seperti halnya dua Rumah Gadang jenis enam ruang
yang terdapat di Kapalo Koto dan ujung koto, ditaksir telah lebih dari 300
tahun.
Mewaspadai penyusutan nilai
secara fisik, tiap-tiap kaum pemilik Rumah Gadang pun terbiasa menjaga kelestarian
rumah adatnya untuk tetap kokoh, material-material yang diketahui keropos satu
persatu diantaranya diganti dengan median baru. Bahkan, tak jarang pula suatu kaum secara
bersama-sama merehap total Rumah Gadang-nya, hingga kembali menjadi lebih kuat
dan kokoh.
“Artinya, karena milik kaum,
perbaikan Rumah Gadang lantas menjadi tanggung-jawab bersama. Seberapa pun besar
biaya, rumitnya pekerjaan, mereka saling pikul secara bergotong-royong. Bagi
yang tinggal diperantauan biasanya membantu lewat mengirim uang, yang
berdomisili di kampung langsung berjibaku ke obyek persoalan,” Tegas Wali
Nagari.
Di Kinari, Rumah Gadang tidak
boleh dirobohkan, sekalipun secara fisik telah kian lapuk dimakan usia. Jika robohkan,
sama artinya kaum itu merobohkan
kehormatannya sendiri. Seberapapun hebatnya rumah beton dan gedung perumahan
umum, rumah adat justru tetap jauh lebih bernilai.
Biaya perawatan mahal, dan
rumit
Mungkin tidak banyak yang
tahu, jika ternyata modal pembuatan hingga perawatan sebuah Rumah Gadang begitu
mahal, dan sekaligus rumit. Dibanding bangunan perumahan umum, termasuk gedung
bertingkat jenis permanen. Karena struktur bangunan rumah adat (Rumah Gadang)
seluruhnya terbuat dari kayu pilihan, dan itupun tenaga yang mahir mengerjakan cukup
terbatas. Jika sekarang dibangun dari nol, bisa bermodalkan lebih dari Rp1
milliar.
Kalaupun mampu, waktu pengerjaannya
pun lama, setelah sebelumnya dikaji azas kepatutan, diikuti berbagai rangkaian
upacara adat. Uniknya lagi, tidak semua orang berduit berhak mendirikan Rumah
Gadang, karena ketentuan ini juga diatur oleh garis keturunan, sako (tuah), dan
pusako.
Menurut Ketua Kerapatan Adat
Nagari (KAN) Kinari, Zulfahmi Dt.Rajo Lelo, biaya pembuatan sebuah Rumah Gadang
bisa mencapai miliaran rupiah, aturan mainnya diatur oleh adat, serta harus mekanisme-mekanisme
lain yang telah digariskan. Berbeda dengan gedung perumahan umum, siapa saja
berhak mendirikannya. Soal bentuk dan jenisnya, tidak bisa pula sesuka hati.
Dalam setiap pembangunan Rumah
Gadang, material yang digunakan, mulai dari tiang, lantai, dinding, kasau,
kuda-kuda, seluruhnya terbuat dari kayu. Uniknya, satu sama lain mesti saling menyangga hingga
membentuk kerangka rumah tanpa ada yang dipaku. Melainkan mengandalkan sistem
pasak, yang oleh warga setempat disebut metode punco.
“Kajiannya memang matang, hingga
strukturnya betul-betul terjamin kuat. Idelnya, betapapun kuatnya goyangan
gempa, struktur Rumah Gadang jarang mengalami rusak, apalagi roboh. Paling-paling,
ketika bumi bergoyang, hanya terdengar suara nyit-nyit, dan berderik-derik,” Ujar Ketua KAN.
Namun juga tak bisa dipungkiri,
Zulkifli sendiri dewasa ini ikut merasa kian gamang, lantaran perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kian merong-rong kehidupan sosial masyarakat, tanpa terkecuali di Nagari Kinari
sendiri. Atas fenomena iini, kalangan Pemangku Adat bersama Pemerintahan Nagari
Kinari terpaksa lebih intensif merangkul semua lapisan masyarakat, dan
mencanangkan budaya babaliak (kembali) ke Rumah Gadang.
“Kuncinya, mempertahankan
nilai-nilai adat, tradisi dan budaya harus ditanamkan sejak dini, lewat
menggandeng semua lapisan, unsur, golongan. Kalaupun nanti akhirnya tetap
bergeser juga, apa boleh buat,” Pungkas Zulkifli. (****)
No comments:
Post a Comment