Wednesday, August 12, 2015

Kinari, Nagari 1001 Rumah Gadang (1)



                   
Yang Ratusan Tahun, Tetap Dihuni

 
Alam Minangkabau bersahaja, kultur, adat dan budayanya begitu kental. Simbol kebesaran ranah bundo, juga ditandai dengan berjejernya Rumah Adat (Rumah Gadang) di setiap korong dan kampuang, plus Bamusajik (ada Masjid), Balai-balai adat, serta sebagainya. Namun bagaimana dengan sekarang, masihkan seperti itu ?  Setidaknya sepenggal nuansa ini masih tersisa di Nagari Muara Panas, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok. 
 Bandaro Mudo— Solok

Bukannya berlebihan, Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, mungkin bisa dibilang satu diantara sekian banyak  perkampungan unik, klasik, diperkuat pola kehidupan masyarakatnya yang homogen. Hingga secercah nilai-nilai tradisi, adat dan budaya masih dapat tersimpan. Seperti halnya Rumah Gadang sebagai simbol kebesaran Ranah Minang, terlihat berbaris-baris menghiasi korong kampuang Kinari, sebahagiannya dilengkapi dengan sepasang Rangkiang penyimpan padi.

Bahkan,  masyarakat nagari Kinari sampai sekarang masih menempati “rumah bagonjong” sebagai tempat hunian, meski diantaranya diketahui telah berusia ratusan tahun. Dalam upacara perkawinan, kematian, batagak gala/panghulu, serta sebagainya, diselenggarakan di rumah adat tradisional “Rumah Gadang”.  Seakan eksistensi Rumah Gadang di negeri ini lebih dari sekadar rumah hunian, namun juga sekaligus menjadi simbol kehormatan bagi setiap kaum/ suku.

Seakan seperti nagari lorong waktu.  Sekalipun arus globalisasi terus menerpa begitu kuat, namun kampung kecil berpenduduk sekitar 4.500 jiwa ini, tidak serta-merta ikut tergerus. Melainkan tetap eksis sebagai satu kesatuan nagari hukum adat yang berdaulat akan nilai-nilai tradisi, adat, dan budaya.  Tak hayal, Nagari Kinari pun berjuluk “Nnagari 1001 Rumah Gadang”

Wali Nagari Kinari, Bustani K Mangguang Sati, dalam wawancara eklusifnya bersama Pusako beberapa waktu lalu, mengaku jika nagari yang dipimpinnya tergolong unik, dimana jumlah rumah adat tradisional (Rumah Gadang) masih terhampar cukup banyak. Dari hasil pendataan tahun 2013 lalu,  seluruhnya tercatat lebih dari 100 unit, menyebar hampir merata di seluruh jorong ( berjumlah 4 Jorong).  Diantaranya  Jorong Galanggang Tinggi, Bungo Harum, Pamujan, Tapi Ayie. Jumlah suku berjumlah 8, meliputi suku Melayu, Panai, Tanjuang, Tanjuang Sikumbang, Koto, Guci, Caniago, dan Kutianyie.  

“Kalau dihitung secara rata-rata, mungkin tiap tiga Kepala Keluarga (KK) punya satu Rumah Gadang. Terlebihi mereka dari keluarga bangsawan, keturunan datuak, bisa lebih dari itu,” katanya.

Dijelaskannya, Rumah Gadang di negeri ujung belahan selatan Bukit Sundi,  terbagi atas dua jenis, diantaranya Rumah Gadang Baanjuang (lantai sisi kiri - kanan ditinggikan sekitar 30 cm),  dan tidak pakai anjungan. Arsitekturnya, ada panjang enam ruang (memiliki 6 kamar), empat ruang, tergantung seberapa banyak jumlah anggota keluarga/kaum pemilik rumah adat itu sendiri.

“Jumlah ruang Rumah Gadang ditentukan oleh seberapa banyak jumlah anggota keluarga dalam kaum itu.  Sebelum dibangun, ada ketentuan, tahapan-tahapannya secara adat pula,” tukas Wali Nagari.

Dalam setiap upacara pesta perkawinan, penduduk Kinari mayoritas petani masih menjadikan Rumah Gadang sebagai pusat kegiatan, sekalipun mereka telah punya gedung perumahan tergolong bagus. Artinya calon mempelai mesti turun dari Rumah Gadang, dan selanjutnya naik ke Rumah Gadang pula. Bagi calon mempelai yang berjodoh dengan warga non pribumi, terlebih dahulu harus mengaku mamak, atau mencari orangtua angkat hingga dikukuhkan secara adat. Jika ketentuan ini dilanggar, diberlakukan hukuman adat.

Begitupun dengan pelaksanan upacara kematian, batagak penghulu, acara syukuran dan lain sebagainya, mesti dilangsungkan di rumah adat kaum masing-masing. Demikian penting, sakral, fungsi Rumah Gadang bagi masyarakat Kinari. 

Harus Dihuni, Sekalipun Berusia Ratusan Tahun  
Guna menjaga kelestarian rumah adat “Rumah Gadang”, Pemerintahan Nagari Kinari juga memberlakukan aturan khusus bagi warganya, dimana pemilik rumah adat diharuskan untuk menempati rumah adatnya sebagai tempat hunian.

Minimal rumah adat tradisional terbuat dari kayu, berarsitektur laksana kapal tengah berlayar, beratap sisi kanan-kiri lancip menjulang ke langit, tetap ditunggui oleh satu keluarga yang tercatat sebagai garis keturunan dalam kaum bersangkutan. Tidak cukup satu keluarga, orang tua telah berusia lantut pun tak jadi soal, asalkan Rumah Gadang tetap ada yang menghuni. Tujuannya, supaya Rumah Gadang tetap terpakai dan terawat.

“Kalaulah sempat tak dihuni apalagi dibiarkan terlantar, Rumah Gadang akan cepat lapuk. Hal ini yang sangat dicemaskan, maka diintruksikan tetap harus ditempati,” Imbuh Wali Nagari Kinari, Bustani K Mangguang Sati. 

Sekalipun yang telah berusia puluhan, ratusan tahun,  tetap harus dipertahankan. Bahkan semakin berumur, justru sebuah Rumah Gadang bagi Warga Kinari akan semakin bernilai, dan sakral. Seperti halnya dua Rumah Gadang jenis enam ruang yang terdapat di Kapalo Koto dan ujung koto, ditaksir telah lebih dari 300 tahun.  

Mewaspadai penyusutan nilai secara fisik, tiap-tiap kaum pemilik Rumah Gadang pun terbiasa menjaga kelestarian rumah adatnya untuk tetap kokoh, material-material yang diketahui keropos satu persatu diantaranya diganti dengan median baru.  Bahkan, tak jarang pula suatu kaum secara bersama-sama merehap total Rumah Gadang-nya, hingga kembali menjadi lebih kuat dan kokoh.

“Artinya, karena milik kaum, perbaikan Rumah Gadang lantas menjadi tanggung-jawab bersama. Seberapa pun besar biaya, rumitnya pekerjaan, mereka saling pikul secara bergotong-royong. Bagi yang tinggal diperantauan biasanya membantu lewat mengirim uang, yang berdomisili di kampung langsung berjibaku ke obyek persoalan,” Tegas Wali Nagari.

Di Kinari, Rumah Gadang tidak boleh dirobohkan, sekalipun secara fisik telah kian lapuk dimakan usia. Jika robohkan,  sama artinya kaum itu merobohkan kehormatannya sendiri. Seberapapun hebatnya rumah beton dan gedung perumahan umum, rumah adat justru tetap jauh lebih bernilai.

Biaya perawatan mahal, dan rumit
Mungkin tidak banyak yang tahu, jika ternyata modal pembuatan hingga perawatan sebuah Rumah Gadang begitu mahal, dan sekaligus rumit. Dibanding bangunan perumahan umum, termasuk gedung bertingkat jenis permanen. Karena struktur bangunan rumah adat (Rumah Gadang) seluruhnya terbuat dari kayu pilihan, dan itupun tenaga yang mahir mengerjakan cukup terbatas. Jika sekarang dibangun dari nol, bisa bermodalkan lebih dari Rp1 milliar.

Kalaupun mampu, waktu pengerjaannya pun lama, setelah sebelumnya dikaji azas kepatutan, diikuti berbagai rangkaian upacara adat. Uniknya lagi, tidak semua orang berduit berhak mendirikan Rumah Gadang, karena ketentuan ini juga diatur oleh garis keturunan, sako (tuah), dan pusako.

Menurut Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kinari, Zulfahmi Dt.Rajo Lelo, biaya pembuatan sebuah Rumah Gadang bisa mencapai miliaran rupiah, aturan mainnya diatur oleh adat, serta harus mekanisme-mekanisme lain yang telah digariskan. Berbeda dengan gedung perumahan umum, siapa saja berhak mendirikannya. Soal bentuk dan jenisnya, tidak bisa pula sesuka hati.

Dalam setiap pembangunan Rumah Gadang, material yang digunakan, mulai dari tiang, lantai, dinding, kasau, kuda-kuda, seluruhnya terbuat dari kayu.  Uniknya,  satu sama lain mesti saling menyangga hingga membentuk kerangka rumah tanpa ada yang dipaku. Melainkan mengandalkan sistem pasak, yang oleh warga setempat disebut metode punco.

“Kajiannya memang matang, hingga strukturnya betul-betul terjamin kuat. Idelnya, betapapun kuatnya goyangan gempa, struktur Rumah Gadang jarang mengalami rusak, apalagi roboh. Paling-paling, ketika bumi bergoyang, hanya terdengar suara nyit-nyit, dan berderik-derik,”  Ujar Ketua KAN.

Namun juga tak bisa dipungkiri, Zulkifli sendiri dewasa ini ikut merasa kian gamang,  lantaran perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kian merong-rong kehidupan sosial masyarakat, tanpa terkecuali di Nagari Kinari sendiri. Atas fenomena iini, kalangan Pemangku Adat bersama Pemerintahan Nagari Kinari terpaksa lebih intensif merangkul semua lapisan masyarakat, dan mencanangkan budaya babaliak (kembali) ke Rumah Gadang.

“Kuncinya, mempertahankan nilai-nilai adat, tradisi dan budaya harus ditanamkan sejak dini, lewat menggandeng semua lapisan, unsur, golongan. Kalaupun nanti akhirnya tetap bergeser juga, apa boleh buat,” Pungkas Zulkifli. (****)






    


















No comments:

Post a Comment