Thursday, March 31, 2016

Lukah Gilo





Bergerak Sendiri, Dikendalikan Secara Ghaib



Ada begitu banyak tradisi dan kesenian yang dapat dipelajari dari negeri Indonesia ini. Salah satunya yang cukup unik adalah lukah gilo. Kesenian tersebut hampir ada di seluruh nagari se-Minangkabau.



Hampir semua masyarakat Minang sudah mengenal yang namanya lukah gilo. Kesenian tersebut lazim ditampilkan dalam bentuk pengontrolan atau pengendalian lukah/ bubu (alat penangkap ikan). Pada masyarakat Minangkabau, alat yang dijadikan obyek permainan biasanya adalah lukah ikan berukuran besar, seukuran tubuh manusia dewasa. Uniknya adalah mengenai bagaimana lukah tersebut dapat menari dan bergerak sendiri dibacakan mantra oleh pawangnya. 

Setelah sebelumnya median berbentuk tabung mengerucut kebawah, berdiameter rata-rata 2m X50cm lengkap dikasih baju, celana, kain sarung, kopiah, hingga mirip manusia. Sungguh permainan ini cukup menarik untuk ditonton.


Kesenian lukah gilo dapat dikatakan mirip dengan jalangkung. Terkadang ketika dipegang, lukah akan melompat, jungkir balik, meronta, menari-nari sendiri tanpa sedikitpun digerakkan oleh seseorang. Melainkan pergerakan lukah biasanya dikendalikan secara ghaib, magik oleh pawang sesuai keinginan, setelah sebelumnya dibacakan mantra-mandra.

Mereka yang ingin menikmati kesenian lukah gilo, tentu saja harus mengenal dan paham terlebih dahulu mengenai lokasi dimana sering diadakan kesenian tersebut. Memang benar kesenian tersebut diselenggarakan tidak hanya pada daerah Padang Panjang saja namun di banyak daerah di Sumatera Barat memiliki permainan lukah gilo.

Namun yang paling umum adalah pada Kabupaten Tanah Datar. Daerah tersebut setidaknya harus ditempuh dengan waktu 60 menit perjalanan dari arah Padang Panjang, dengan jarak sekitar 38 kilometer. Akan lebih mudah bila dikunjungi dengan menggunakan kendaraan pribadi.

Masyarakat Minang tentu saja sudah terbiasa untuk melakukan aktifitas tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah mengenai bagaimana seorang pengunjung bisa terlibat secara langsung dan bahkan belajar mantra dari sang pawang.

Biasanya para wisatawan akan disertakan dalam mengontrol lukah yang sudah diberi mantra. Ada yang merasa takut dan ada yang merasa tertantang. Namun dalam menikmati kesenian lukah gilo, tentu saja yang harus diperhatikan adalah mengenai unsur kesenian dan juga kebudayaan itu sendiri. Apakah di nagari anda juga ada lukah gilo ? (By: Rusdi Chaprian)

( Dikutip dari: http://www.pelangiholiday.com/2014/11/lukah-gilo-kesenian-tradisional-sumbar.html )


Thursday, March 24, 2016

Sujundai



Kali ini kami akan kembali membagikan sebuah pusako usang Minangkabau, namanya adalah Sijundai. Sijundai dalam istilah yang mudah difahami adalah makluk halus pengirim guna-guna. Akibat serangan sijundai, akhirnya prilaku manusia yang dituju segera hilang kesadaran. Mulai dari tata cara bicara, tindakan diluar batas kesadaran manusia.

Basijudai juga boleh dikatakan tindakan diluar batas kesadaran, korban bisa menangis, tertawa, tanpa sebab tetapi bukan gila. Maka masyarakat Minangkabau sejak dahulunya menyebutnya kanai sijundai.

Prilaku aneh sijundai biasanya menimpa anak gadis, ataupun anak bujang, serta penyebabnya cenderung berkaitan erat dengan hubungan percintaan. Baik karena hubungan tidak lancar atau kena tolak, dicaci dan diaki. Prilaku tersebut muncul karena ditolak, dicaci, atau dikhianati seseorang hingga berujung dendam.

Dendam yang tak terbalaskan akhirnya dilampiaskan dengan cara ini. Akibatnya orang yang mendapat kiriman  sijundai baik bujang atau gadis akan berperilaku seperti orang gila, menangis, tertawa sendiri, berteriak, menarik-narik rambut, dan yang paling popular- memanjat dinding. 

Pekerjaan ini biasanya dilakukan dukun, paranormal pada malam hari. Bila dukun bisa mempengaruhi korbannya, maka korban akan berjalan menemui dukun atau orang lain yang meminta  dukun melakukan hal demikan. Di antara isi mantra dukun itu berbunyi; “jika  korban sedang tidur suruh ia bangun, kalau sudah bangun suruh duduk, jika duduk  suruh berjalan, berjalan untuk menemui aku”, Penyakit magis yang juga disebabkan oleh serangan gasing tangkurak ini lazim disebut Sijundai.

Secara sosial sijundai bekaitan dengan fenomena magic. Perkataan yang terlalu menyakitkan, atau tersinggung juga menjadi pemicu kiriman sijundai dari orang yang disakiti. Zaman yang serba modern ini, sijundai tidak akan pernah lepas selaku tingkah laku yang tidak dijaga. Dala bahasa jawa kena santet atau kena guna-guna Secara lanjut, sijundai ini menjadi penyakit yang susah untuk disembuhkan, seakan-akan penyakit keturunan.

Biasanya keluarga yang kena sakit sijundai ini mendapat sangsi sosial dalam masyarakat. Dalam hal perjodohan akan sulit mendapatkannya. Sebagai mana dalam kiasan kuriak induaknyo rintiak anaknyo.

Lain lagi penyebutan berbagai daerah terhadap ilmu ini, ada juga gasing tangkurak, atau sirompak. Ilmu magis yang memanfaatkan gasiang tengkurak untuk menimbulkan penyakit sijundai yang merupakan ilmu jahat yang dijalankan melalui persekutuan dengan syetan. Ilmu ini beredar luas dan dikenal oleh masyarakat di pedesaan Minangkabau pada umumnya.

Hal ini misalnya terlihat pada popularitas lagu Gasiang Tangkurak  ciptaan Syahrul Tarun Yusuf dinyanyikan oleh Elly Kasim, seorang penyanyi Minang legendaris. Dalam lirik ini untuk mebalaskan dendam maka dikrimlah sijundai. Gasiang tangkurak biasanya digunakan membalas dendam. Ukuran harga yang lazim digunakan adalah emas. Sebagai syarat  pengobatan, biasanya dukun meminta emas dalam jumlah tertentu sebagai tanda, bukan upah.

Tanda ini akan dikembalikan jika sang dukun gagal dalam menjalankan tugasnya. Tetapi kalau ia berhasil, maka uang tanda ini diambil, dan pemesan harus menambahnya dengan uang jasa. Selain untuk menyakiti, ada dukun tertentu yang menggunakan gasiang tangkurak untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh hal-hal magis yang lainnya, gasiang sering juga dipakai sebagai media untuk mensugesti orang lain menjadi tertarik pada diri kita. Ilmu terakhir ini biasa disebut Pitunang.

Dalam sejarahnnya Jelas bahwa, (Marzam) manusia turut menggunakan jalan yang singkat untuk memecahkan permasalahan mereka seperti yang terjadi terhadap pemuda miskin yang dihina oleh perempuan cantik yang kaya yang juga memperlihatkan keterbatasan akal dan fikiran manusia serta keyakinannya yang kuat terhadap hal-hal yang supranatural dengan mengamalkan hal-hal yang magis.

Amalan ritual magis seperti ini menjadi popular di kalangan pemuda yang menyatakan cintanya kepada seorang perempuan dan tidak dibalas dengan baik, maka cintanya yang ditolak atau dihina membuatkan mereka berjumpa dan meminta bantuan kekuatan ghaib. Baik sijundai, gasiang tangkurak, atau sirompak merupakan ritual balas dendam kerena cinta yang tak sampai karena buruk rupa, miskin, atau ken hina maupun cacian. (red)

Gasiang Tangkurak




Ampuh, Mematikan Musuh

Hampir setiap  daerah di indonesia memiliki ilmu kebathinan, ilmu magis yang khas, diimplementasikan lewat serangkaian ritual khusus.  Di minangkabau juga ada ilmu magis, yaitu ‘Gasiang Tangkurak’. Konon serangan Gasiang Tangkurak (gasing tengkorak) ala Minangkabau sangatlah ditakuti hingga keberbagai pelosok negeri. Bagaimana kisahnya ?  

Laporan—  Pusako News

Kebetulan dalam menjalankan ilmu kebathinan ini harus menggunakan median khusus, yakni kepingan tengkorak kepala mayat manusia.  Masyarakat Minang Lazim menggunakan ilmu tersebut  untuk menyerang musuh secara gaib, sekaligus ilmu tersebut juga bisa untuk tujuan lain seperti pengobatan. Gasiang tangkurak bentuknya mirip dengan gasiang seng yang pipih,  Cuma saja bahannya dari tengkorak manusia. 

Gasiang seperti ini hanya bisa dimainkan  oleh dukun, orang yang memiliki kemampuan magis. Sambil memutar gasiang, dukun  membacakan jampi-jampi/ mantra. Pada saat yang sama, orang yang menjadi sasaran akan  merasakan sakit, gelisah dan melakukan tindakan layaknya orang sakit jiwa.

Misalnya,  berteriak-teriak, menarik-narik rambut, dan yang paling popular- memanjat dinding.  Pekerjaan ini biasanya dilakukan pada malam hari. Bila dukun bisa mempengaruhi  korbannya, maka korban akan berjalan menemui dukun atau orang lain yang meminta  dukun melakukan hal demikan. Di antara isi mantra dukun itu berbunyi, jika  korban sedang tidur suruh ia bangun, kalau sudah bangun suruh duduk, jika duduk  suruh berjalan, berjalan untuk menemui seseorang, Penyakit magis yang disebabkan oleh gasing tangkurak ini lazim disebut Sijundai.

Ilmu magis yang memanfaatkan gasiang tingkurak untuk menimbulkan penyakit sijundai yang merupakan ilmu jahat yang dijalankan melalui persekutuan dengan syetan. Ilmu ini beredar luas dan dikenal oleh masyarakat di pedesaan Minangkabau pada umumnya. Hal ini misalnya terlihat pada popularitas lagu Gasiang Tangkurak  ciptaan Syahrul Tarun Yusuf dinyanyikan oleh Elly Kasim, seorang penyanyi Minang legendaris.

Gasiang tangkurak biasanya digunakan membalas dendam. Seseorang datang kepada sang dukun untuk menyakiti seseorang dengan sejumlah bayaran. Ukuran harga yang lazim digunakan adalah emas. Sebagai syarat  pengobatan, biasanya dukun meminta emas dalam jumlah tertentu sebagai tanda, bukan upah. Tanda ini akan dikembalikan jika sang dukun gagal dalam menjalankan tugasnya. Tetapi kalau ia berhasil, maka uang tanda ini diambil, dan pemesan harus menambahnya dengan uang jasa.

Selain untuk menyakiti, ada dukun tertentu yang menggunakan gasiang tangkurak untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh hal-hal magis. Yang lainnya, gasiang sering juga dipakai sebagai media untuk mensugesti orang lain menjadi tertarik pada diri kita. Ilmu terakhir ini biasa disebut Pitunang.

Sesuai dengan namanya, bahan utama gasiang tangkurak adalah tengkorak manusia yang sudah meninggal. Gasiang ini hanya bisa dibuat oleh orang yang memiliki ilmu batin tertentu. Pada berbagai daerah terdapat beberapa perbedaan menyangkut bahan tengkorak yang lazim dan paling baik digunakan sebagai bahan pembuat gasing tangkurak. Pada beberapa daerah, tengkorak yang biasa digunakan adalah tengkorak dari seseorang yang mati berdarah.

Daerah yang lain lebih menyukai tengkorak dari orang yang memiliki ilmu batin yang tinggi khususnya untuk pengobatan, sedangkan daerah yang lain lagi percaya bahwa tengkorak dari wanita yang meninggal pada saat melahirkan merupakan bahan paling baik. Bahkan pada daerah tertentu, seorang informan menyebutkan bahwa tengkorak yang paling baik adalah tengkorak anak-anak yang telah disiapkan sejak kecil. Anak itu dibawa ke tempat yang sunyi, kemudian dipancung. Tengkorak yang masih berdarah itulah yang dijadikan bahan untuk gasiang tengkorak.

Bagian tengkorak yang digunakan adalah pada bagian jidat. Pada hari mayat dikuburkan, dukun pembuat mendatangi kuburan, menggali kubur dan mayatnya dilarikan. Tengkorak yang diambil adalah pada bagian jidat, karena dipercaya pada bagian inilah terletak kekuatan magis manusia yang meninggal. Ukuran tengkorak yang diambil tidak terlalu besar, kira-kira 2 X 4 cm. Saat mengambil tengkorak mayat, dukun membaca mantra khusus sambil menyebut nama si mayat.

Setelah diambil, jidat itu dilubangi dua buah di bagian tengahnya. Saat terbaik untuk membuat lobang adalah pada saat ada orang yang meninggal di kampung tempat pembuat gasiang berdomisili. Saat demikian dipercaya akan memperkuat daya magis gasiang. Kemudian pada kedua lubang itu dimasukkan benang pincono, atau benang tujuh ragam. Gasiang dan benang itu kemudian diperlakukan secara khusus sambil memantra-mantrainya. Gasiang itulah kemudian yang digunakan untuk menyakiti orang.

Ada lagi jenis gasiang lain, yang fungsinya hampir sama dengan gasiang tingkurak. Gasiang ini terbuat dari limau puruik ( Citrus hystrix ) dari jenis yang jantan dan agak besar. Pada limau itu dibacai mantra-mantra. Limau purut ditaruh di atas batu besar, kemudian dihimpit dengan batu besar yang lain. Batu itu sebaiknya berada di tempat terbuka yang disinari cahaya matahari sejak pagi hingga petang. Sebelum dihimpit dengan batu, dibacakan mantra. Limau dibiarkan hingga kering benar, setelah itu baru dibuat lobang ditengahnya. Ke dalam lobang itu digunakan banang pincono, atau benang tujuh warna.

Gasiang jenis ini biasanya dipakai untuk masalah muda-muda dan pengobatan. Pemakaian gasiang ini menggunakan perhitungan waktu tertentu yang didasarkan pada pembagian waktu takwim. Untuk kepentingan muda-mudi, waktu yang lazim dipakai adalah waktu Zahrah, sedangkan untuk pengobatan dilakukan pada waktu Syamsu. Untuk tujuan baik, tidak ada pantangan saat menggunakan gasiang. Tetapi untuk hal yang jahat, maka pengguna harus menghindari seluruh hal yang berkaitan dengan jalan Tuhan harus dihindari. (Red)

(Dikutip dari: http://www.indospiritual.com/artikel_mengenal-gasiang-tangkurak-ilmu-magis-asal-minangkabau.html#sthash.M5pBnnWx.dpuf)